ANALISIS TERHADAP RELIGIOUSITAS DAN IDEOLOGI
DARI SOEHARTO KE GUS DUR (1966-2000)
Oleh Shofwan Karim[1]

Abstract

Religiousity and ideological development of Indonesian Muslim to both regimes of Soeharto and Abdurrahaman Wahid or Gus Dur, expressively, to some extend has similarity and distincty. What so called guided democracy in the Soekarno administration were consist of three pillars national backbone. Those were nasionalism, religion of traditionalist faction, and communism in 1959-1965. In the other hand when Soeharto came to power, he built a strong system wich he called as the democracy of Pancasila . This authoritarian rule base on those were military, technocracy-bereucracy and Golkar Party.
Furthermore, never before last October's 1999 election has the presidency gone to Abdurrahman Wahid a cleric and a leader of a large Muslim organization Nahdhatul Ulama. And yet, instead of trying to boost Islam's influence, President Gus Dur has flatly rejected calls to impose Islamic law. He is repealing laws that discriminate againts non-Muslim groups, including a 1969 statute that requires them to obtain special permits to build churches and temples.
As Wahid said, "it is not fair that Muslims protes the construction of other places of worship while there are hundreds of thousands of mosques built without any permits," he ever told a gathering of cummunity leaders and women's group a few months ago. And in February 2000, he allowed Indonesia's ethnic chinese minority to celebrate Chinese New Year in public for the first time since 1965, when they were blamed for a bloody communist coup attempt.
Although Wahid presents the sweet face of Islam, his authority back up by what so called as islamic traditionalist, nasionalist secular, non-govermental aktivist, and limited elites of military faction . Wahid encourages state and national policies bas on secularism, pluralism, and humanism. Contradiction like this color religious life in the wolrd's most populous Muslim country, where the president Abrurrahaman Wahid, a Muslim cleric who is stuggling to keep religion and state apart and to foster democracy and tolerance after decades of authoritarian rule. Furthermore, this asrticle focusing on Soeharto and Gus Dur political policies for relgiousity and ideological phenomenon in Indonesia wich its run in 1966-2000.


Pendahuluan

Mohammad Natsir dalam pidatonya pada sidang pleno Konstituante, 12 November 1957 berkata: “Pilihan orang dipersimpangan jalan: Apakah akan meneruskan sekularisme dengan segala akibat-akibatnya, ataukah akan kembali kepada tuntutan Ilahi, sehingga akan terbuktilah firman Tuhan:
سنريهم ايتنا فى الافاق وفى انفسهم حتى يتبين لهم انه الحق اولم يكف بربك انه على كل شيء شهيد (فصلت53)
Akan Kami perlihatkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di seluruh jagat dan dalam diri mereka sendiri, sehingga menjadi teranglah bagi mereka yang hak. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu ?” (Natsir, 1989)
Setelah 43 tahun, pernyataan ini agaknya masih relevan untuk menganilisis situasi dan kondisi keberagamaan (religiusitas) dan ideologi umat Islam Indonesia dari era Suharto ke Gus Dur dewasa ini . Situasi dan kondisi itu hampir-hampir sama antara zaman Orla Sukarno, Orba Suharto dan reformasi Gus Dur. Yang pertama disebut era Demokrasi Terpimpin dengan tritunggal pendulum kekuasaan di tangan Nasional Agama Komunis (Nasakom) tahun 1959-1965. Yang kedua, disebut era Demokrasi Pancasila dengan tritunggal ABRI, Teknokrat-Birokrat dan GOLKAR sebagai pendulumnya. Yang ketiga Demokrasi Liberal Gus Dur dengan dukungan tradisional Islam, LSM, dan ABRI. ditopang pemikiran sekularisme, pluralisme dan humanisme a la Gus Dur.
Bedanya di zaman Demokrasi Terpimpin, kekuatan ideologi pendukung utama adalah nasionalis-sekuler barisan Sukarno, Islam tradisonal (NU dan kelompok Islam akomodatif) serta komunisme-atheistik. Sementara itu kekuatan ideologi pendukung Suharto adalah Pancasila yang sekularistik, sosialisme dan Islam kultural dalam wujud Islam modernis-pragmatis-akomodatif.
Berikutnya bergulir benih reformasi: keterbukaan, demokratisasi, penghargaan terhadap HAM dan Lingkungan hidup yang menjadi ideologi global akhir 80-an. Bersamaan dengan itu, runtuhnya Sovyet dan tembok Berlin 1989-1990 turut mempengaruhi Indonesia dan pada gilirannya berpuncak pada tergulingnya Suharto 21 Mei 1998. Semua itu meninggalkan pertanyaan: apakah situasi dan kondisi religiositas dan ideologi umat Islam Indonesia turut berubah ? Pada SI MPR Oktober 1999, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI. Bagaimana dituasi kehidupan beragama dan idelogi umat Islam dewasa ini ?.Uraian berikut mencoba menganalisis keadaan itu dengan membatasinya kepada situasi religiousitas (keberagaman) dan ideologis 1966-2000 yang terbagi kepada era Suharto implisit Habibie dan Era Gus Dur 12 bulan ini serta implikasinya ke masa depan.

Syi’ar, Simbolistik dan Deidelogisasi Islam

Zaman Suharto 1966-1998 (32 th) dilihat dari perspektif religiousitas dan ideologi dapat dipilah kepada dua corak. Pertama, simbolistik-ritualistik. Syi’ar dan simbol-simbol agama yang tidak berdampak ideologis dihidup-suburkan. Yang dimaksud dengan syi’ar di sini adalah kegiatan seremonial yang mengatas-namakan agama (baca: Islam). Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tk. Nasional diadakan sejak 1967 dan berlanjut bahkan sampai sekarang. Pelaksanaan ibadah haji setiap tahun disempurnakan serta jumlah jama'ah haji itu terus meningkat. Semua urusan sepenuhnya ditangani oleh pemerintah melalui Depag.
Terhadap kedua hal itu di sana-sini sudah muncul kritik. MTQ misalnya, dianggap hanya menghambur-hamburkan uang, sementara isi dan pesan al-Quran yang hakiki diabaikan. Apabila uang MTQ itu digunakan untuk pembinaan pendidikan islam maka uang itu akan sangat bermanfaat. Begitu pula terhadap penyelengaraan haji. Biayanya sangat mahal. Masyarakat Islam tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah menjadi monopoli pemerintah. Pemerintah membodohi sebagian besar kaum muslimin kelas bawah yang tidak paham mengurus transportasi, akomodasi, hotel danm kesehatan. Biaya ONH Indonesia adalah yang termahal di dunia. Bandingkan dengan Malaysia yang mampu memberikan pelayanan lebih kepada jamaah hajinya dengan bayaran antara separoh hingga tiga perempat biaya haji dari Indonesia.[2]
Sebagian ONH itu rupanya dikumpulkan ke dana abadi yang dikelola Depag untuk (katanya) kepentingan umat Islam. Di luar itu, diperkirakan jauh lebih besar, telah masuk ke kantong kelompok dan orang tertentu yang terkait dengan bisnis tersebut yang pada umumnya berbau keluarga istana. Walaupun Suharto banyak membantu kegiatan yang bersyi’ar Islam dan simbolik islami seperti membangun masjid Yayasan Amal Muslim Pancasila[3], mengirim mubaligh, membantu panti asuhan dan sebagainya, tetapi karena masyarakat tidak tahu secara transparan dari mana uang itu dan bagaimana pertanggungjawabannya, maka tidak semua umat Islam, terutama pemimpin dan ulama yang kritis menganggap apa yang dilakukan Suharto sudah memenuhi harapan sebagai sesuatu yang islami. Dan pengadilan Suharto yang kontroversial baru-baru ini adalah antara lain atas tidak jelasnya pertangungjawabannya terhadap keuangan yayasan-yayasan tersebut.
Kedua, untuk hal-hal yang bersifat dan berdampak ideologis serta untuk kategori tertentu pelaksanaan syariat Islam, Suharto nampak menjalankan kebijakan ganda. Di satu masa menekan habis-habisan, di masa lain mulai membuka jalan. Penekanan habis-habisan terjadi dalam kurun 1966-1985, ketika ideologi Pancasila dipaksakan. Pada tahun 1966-1967 Mohammad Natsir (1908-1993) dan Mohammad Rum (1908-1983) serta pemimpin-pemimpin Masyumi ingin merehabilitasi Partai Masyumi yang dibubarkan Sukarno tahun 1960. Maksud tersebut ditolak Suharto. Sebagai gantinya Suharto hanya membolehkan mendirikan Parmusi dengan syarat tidak ada bekas pemimpin Masyumi yang duduk di dalamnya. Ketika Mohammad Hatta akan mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia tahun 1966, juga ditolak oleh Suharto (Deliar Noer, 1999).

Pragmatisme-Ideologis

Pada masa ini cendekiawan muda di bawah angkatan Natsir dan Rum yang sedang gandrung dengan pragmatisme-ideologis melihat kemunduran umat islam Indonesia di masa lalu lantaran umat Islam terlalu formalistik dan simbolistik dalam mengartikulasikan politik dan ideologi Islam [4]. Secara umum yang dimaksud dengan ideologi ialah pemikiran yang sistematis mengenai susunan suatu masyarakat sesuai dengan nilai absolut-moral, agama, sejarah dan sebagainya; ia mengandung pengertian dan dasar-dasar keteraturan peranan politik, juga mendasari, mempromosikan serta mendukung suatu kekuasaan (Dahl, 1963:20). Apabila ideologi itu hanya digunakan untuk keperluan kekuasaan atau mendukung kekuasaan dan tidak berdasarkan agama, maka oleh sebagian besar kalanga di Indonesia diangap sebagai pragmatisme-ideologis atau ideologi semu.
Keadaan itu menjadi subur ketika kaum muda Islam waktu itu ikut mendorong deideologisasi Islam. Hal itu tergambar antara lain di dalam laporan media massa pada tahun 1970-an yang memuat kalimat Nurcholish Madjid, “Islam yes, partai Islam , No. !” Secara langsung atau tidak Suharto tentulah sangat suka dengan jargon tesebut. Dengan jargon itu, niscaya ia merasa deideologisasi Islam dan depolitasasi islam yang dilakukannya menjadi lancar. Wacana islam dan kenegaraan kurun waktuini diramaikan dengan penekanan pentingnya pendekatan substantivistik (isi-nilai-hakiki) Islam . Oleh kalangan cendekiawan muslim tetentu, hal itu diartikan sebagai gerakan Islam kultural dan bukan gerakan struktural. Artinya Islam harus muncul dari perilaku dan implementasi budaya. Islam pada tataran etika bukan struktur dan kekuasan politik. Serentak dengan itu oleh Madjid dan kawan-kawan telah dicanangkan keharusan pembaharuan pemikiran islam dengan tema sekularisasi sosiologis dan desakralisasi simbol-simbol keislaman. Hal itu mendapat tantangan juga dari yang senior, antara lain H.M Rasyidi. Bagi Rasjidi, sekularisme dan sekularisasi baik filosofis maupun sosiologis sama saja(Rasjidi, 1977,13-14).
Pemikiran sekularisasi sosiologis[5], deideologisasi dan depolitisasi Islam itu mencapai puncaknya ketika muncul pernyataan: “tidak ada negara Islam” . Tentu saja bagi kalangan tertentu yang paham sejarah pemikiran Islam, pendapat demikian bukanlah hal baru. Namun tak ayal pendapat kalangan muda itu mendapat tantangan dari kaum senioren islam Indonesia lainnya. Mewakili penolakan golongan senior itu dapat dilacak kepada pernyataan Mohammad Rum: “Jangan Main-main dengan istilah Negara Islam “ dan juga ia mengatakan, “Bagi Saya, Islam ? Yes. Partai Islam juga Yes’. (Agus Edi Santoso, 1997: 88).
Pada tataran strukturali Suharto berhasil menekan Islam politik . Antara lain melakukan restrukturisasi organisasi politik dengan fusi 9 parpol menjadi 2 Parpol dan 1 GOLKAR pada tahun 1973. Di antara parpol hasil fusi itu adalah PPP yang berasal dari Parmusi, NU, PSII, dan Perti yang dianggap poros Islam diubah menjadi poros persatuan. Pihak lain adalah PDI yang berasal dari Parkindo, Partai Katholik, PNI, Murba dan IPKI yang menjadi poros nasionalis diubah kepada simbol demokrasi. Lalu, GOLKAR yang dianggap kelompok kekaryaan, kaum profesi, fungsional, teknokrat, birokrat dan tentu saja keluarga besar ABRI. Golkar dalam anggaran dasarnya hanya mencantumkan Pancasila sebagai asas. Dua parpol di atas, PPP dan PDI masih meletakkan dasar Islam dan nasionalisme dalam anggaran dasarnya di samping Pancasila.
Kejayaan Suharto pada era 1970-an terbantu oleh ekonomi dan keamanan yang secara semu dianggap stabil. Gesekan antar suku, agama dan ras (SARA) secara represif ditekan sedemikian rupa. Sehingga juru dakwah dan muballigh tidak bebas menyampaikan dakwah dan tablighnya. Mereka diharuskan meminta izin untuk daerah dan waktu tertentu di Indonesia. Khutbah-khutbah Jum’at yang keras selalu dicatat intelijen negara atau ABRI. Paling tidak bila terjadi kerusuhan maka yang dianggap suka bicara keras, segera dapat diamankan atau diciduk petugas. Seminar, dikusi, dan segala bentuk pertemuan yang melibatkan massa banyak harus ada izin khusus dari pemerintah setempat maupun Polri. Keadaan ini terasa ketat sampai tahun 1985 dan longgar sesudahnya.
Suharto berhasil memecahbelah pemimpin umat dan ulama. Antara sesama pemimpin dan ulama saling curiga. Ada ulama pemerintah dan ada ulama bebas. Mereka yang kritis disingkirkan, mereka yang akomodatif dibantu untuk mengembangkan organisasin atau lembaga yang dipimpinnya. Tokoh semacam ini diberi kedudukan, penghargaan serta fasilitas. Sehingga ulama-ulama itu terutama yang mampu direkrut GOLKAR, serta untuk kasus tertentu juga PPP dan PDI menjadi jinak terhadap kemauan Suharto. Bahkan di antaranya siap menjadi mesin pemenangan Pemilu partai-partai tertentu , seperti antara lain GUPPI, Tarbiyah, MDI, Satkar Ulama untuk GOLKAR dan Jamiaatul Muslimin untuk PDI dan Persatuan Ulama Ka’bah untuk PPP (Heru Cahyono, 1992).
Antara 1971-1980 kerap terjadi ketegangan antara umat Islam dan pemerintah Suharto seperti ketika kasus pengesahan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Ketegangan serupa terjadi pula ketika masuknya aliran kepercayaan dan doktrin Ekaprasetiapancakarsa Pancasila dalam GBHN 1978 . Walaupun demikian, keberagamaan bersifat ritualisitik, syi’ar dan simbolistik umat Islam tidak terusik. Sekali-sekali di masa ini terdapat ketegangan antara umat Islam dan kaum nasrani. Namun Suharto dengan pendekatan keamanannya yang represif tetap kokoh. Dengan konsep tri kerukunan hidup umat beragama[6] yang pelaksanaanya sangat birokratis dan formal itu, dapat mengeliminir dan meredam konflik horisontal dalam masyarakat. Begitu pula ketegangan ideologis yang terkesan sengaja disponsori oleh orang-orang Suharto seperti dihembuskannya isu negara Islam, komando jihad, kelompok Imran, Warsidi dan beberapa kasus yang terjadi di akhir 1970-an dan awal 1980-an, dengan enteng telah diamankan Suharto. Puncaknya tentulah kasus Periok tahun 1984, ratusan umat Islam dibabat.
Keadaan itu sedikit berubah. Babak baru politik Islam Suharto bergeser pertengahan atau akhir 80-an.Dengan tuntasnya penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka tuntaslah tugas Suharto menjadikan Indonesia sebagai negara sekular penuh. UU No. 5 dan No. 8 tahun 1985 yang mewajibkan Parpol dan Ormas berasas tunggal tanpa embel-embel lain, diterima oleh NU pada mulanya. Berikutnya semua ormas Islam menerimanya dengan formulasi yang berbeda-beda, namun kata asas tetap hanya Pancasila.[7] Kemudian secara selektif kebijakan politik negara terhadap aspirasi Islam diperlonggar. Bahkan untuk hal-hal tertentu seakan dibantu. Keadaan ini nampak dengan dihapuskannya Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) yang dianggap kalangan Islam sebagai judi. Tentu saja penghapusan itu karena diiringi pula oleh demonstrasi oleh generasi muda Islam menolak SDSB di mana-mana. Begitu pula dibolehkannya siswi, pelajar wanita dan mahasiswi serta wanita-wanita muslimah memakai jilbab di sekolah atau di tempat kerja mereka. Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berdirinya ICMI dengan dukungan kuat pemerintah, lahirnya Bank Muamalat dan Bank Syari’at, dan lain-lain, semuanya dianggap sebagai berubahnya politik Islam Suharto.
Keadaan itu semua berlaku antara 1985-1998. Hal itu tejadi ketika Pancasila secara formal sudah diterima dengan di terimanya oleh umat Islam dan umat beragama lain Pancasila sebagai asas tunggal yang dikokohkan dengan UU No. 5 dan Tahun 1985. Pada era ini syi’ar dan simbol agama terus berlanjut seperti masa sebelumnya bahkan kian semarak. Apalagi keluarga Suharto memperkokoh simbol dan syi’ar itu dengan boyong naik haji ke Mekah satu pesawat penuh pada tahun 1990. Ia menambah nama menjadi Haji Muhammad Suharto dan isterinya menjadi Hajjah Siti Suhartinah. Mbak Tutut, putri Suharto tertua, dengan selendang tiga perempat menutup kepalanya dan suka berkebaya panjang, terkesan mempromosikan budaya Islam Indonesia bagi kaum muslimah di sini. Bahkan gaya itu disebut gaya selendang Mbak Tutut. Tentu saja suara sumbang tetap ada dan gosip terhadap perilaku putri-putri keluarga ini senantiasa menjadi kabar burung. Di antaranya dikabarkan ada di antara yang suka berjudi, main mata di luar rumah tangga dan sebagainya.
Masih soal simbolik dan syi’ar islam ini, tahun 1995 pertama kali festival istiqlal diadakan. Berikutnya dengan biaya milyaran rupiah didukun ribuan artis di antaranya yang amat terkenal Oma Irama, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) bersama muballigh sejuta ummat KH Zainuddin MZ diadakan pula upacara takbiran spetakuler menyambut Idul Fitri. Suharto menabuh beduk raksasa di tengah ribuan beduk lain dengan lantunan gemuruh takbir menggema angkasa di lapangan Monas.
Di samping hal-hal yang bersifat simbolitistik-ritualistik dan budaya yang semakin Islami itu, Suharto semakin akrab dengan tokoh dan kelompok strategis Islam lainnya. Pada Muktamar Muhamadiyah ke-42 di Aceh, ia dengan lantang mengatakan dirinya adalah bibit Muhammadiyah yang ditanam di Indonesia. Gus Dur dengan NU-nya diberi keleluasaan bekerjasama dengan William Soeryawijya, seorang pengusaha non-pri membuka Bank NU-Suma (Nusuma) dengan target mendirikan 2000 BPR di Indonesia.
Tentu saja apa yang dilakukan Suharto tidak semua umat dan tokoh elit Islam serta ulama bebas di Indonesia menyetujuinya. Namun kekuasaan Suharto mesti terus dilanjutkan. Maka hati mayoritas umat harus pula dirangkul . Hal itu sangat beralasan karena secara faktual kekuatan politik Suharto tidak efektif kalau ABRI, birokrat-teknokrat, kelompok sosialis, nasionalis, elit Nashrani dan umat Islam tidak digegang erat. Di masa awal Orba, Suharto didukung oleh tanki pomikir Katholik, Sosialis, dan Nasionalis di bawah kendali maestro-politik Orba Ali Murtopo, Beni Murdani dan Sujono Humardani di Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berkantor di Tanah Abang II, Jakarta.[8]
Bagi kalangan tertentu, perilaku Suharto dianggap mulai bergeser drastis merangkul umat Islam. Bahkan ketika didirikan ICMI, terwujudnya kompilasi hukum Islam dan diputuskannya UU No. 7 Th. 1989 tentang peradilan agama di atas tadi, Suharto dianggap memberi peluang hidupnya Piagam Jakarta. Meskipun keadaan itu merupakan resiko historis dari pernyataan Sukarno 5 Juli 1959 yang mengatakan Piagam Jakarta menjiwai dan memberi semangat kepada UUD’45, tetapi arah politik Suharto itu dianggap sebagai memberi peluang syari’at Islam akan menjiwai UU dan hukum positif Indonesia. Sesuatu yang bagi kaum sekularis dan penganut agama lain tidak disenangi. Namun, apakah perubahan Suharto itu ikhlas dan murni untuk kebaikan umat Islam, ataukah hanya sekedar untuk merangkul umat islam untuk mempertahankan kekuasaannya?.
Penafsiran lain mungkin dapat dipertimbangkan. Misalnya, Suharto merasa sudah terlalu kuat di dalam negeri. Karenanya ia ingin mengokohkan dirinya di dunia internasional. Maka kelihatan di akhir 80-an dan sepanjang tahun 1990-an Suharto sering berkunjung ke mancanegara. Julukan dunia internasional terhadap dirinya sebagai negarawan paling senior saat itu menambah kepercayaan dirinya. Bandingkan dengan Lee Kwan Yu yang sudah undur dari kedudukan sebagai Perdana Menteri dan hanya mau menerima jabatan menteri senior di Singapura. Marcos dari Filipina sudah jatuh. Di Eropa kecuali para raja sebagai lambang pemimpin negara, tidak ada pemimpin pemerintahan atau Perdana Menteri yang lebih dari 10 tahun berkuasa. Di Amerika Latin tinggal Fidel Castro yang senior dan pada waktu itu masih di bawah rekor Suharto. Oleh karena itu, di dunia internasional setelah runtuhnya dominasi blok Timur yang dipimpin Sovyet, maka kekuatan satu-satunya tinggal blok Barat dengan sokoguru utama Amerika Serikat bersama-sama Inggris, Prancis, Jerman dan Jepang. Suharto ingin menarik simpati negara-negara Barat itu antara lain dengan melaksanakan Konferensi AFEC tahun 1994. Supaya simpati Barat mudah diraih, maka perlu dukungan lain, di antaranya negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas muslim di dunia, antara lain meningkatkan keaktifan di OKI. Hal itu menjadi sangat penting karena Indonesia mayoritas muslim. Dengan demikian segala yang bernuansa simbolik-syi’ar islam, bernuansa syari’at, serta pelonggaran bernafas bagi fundamentalisme Islam diterapkan. Citra Suharto yang refresif terhadap Islam di Indonesia terutama dari kacamata negara-negara OKI, harus diperbaiki.
Hal lain adalah situasi ekonomi internasional, regional dan dalam negeri Indonesia relatif stabil di awal 1990-an. Paling tidak secara semu ekonomi Indonesia berkembang. Bahkan Bank Dunia memprediksikan bahwa Indonesia segera menjadi macan Asia menyamai Hongkong, Korea, Taiwan , menyusul Malaysia dan Thailand. Oleh karena itu sudah tiba saatnya mengalihkan perhatian kekuatan ekonomi untuk pribumi. Apa lagi kelas menengah ekonomi Indonesia mulai menyatakan peranannya. Mereka yang tumbuh belakangan itu jelas mayoritas Islam. Mereka yang selesai pendidikan di dalam maupun luar negeri, mayoritas bernuansa religius Islam yang memadai. Bersamaan dengan itu berkembangnya Islam kultural bukan islam struktural dan politik dianggap oleh beberapa analis sebagai sesuatu yang membuat orang bergengsi menjalankan ritualisitik dan simbol-simbol islam yang kian bergairah. Ucapan Assalamu’alikum menjadi budaya Indonesia. Walaupun waktu itu ada isyu Gus Dur ingin mengubah Assalamualaikum dengan selamat pagi, siang dan malam, tetapi belakangan pernyataan itu diralat sebagai salah kutip wartawan. Meskipun ONH tetap mahal, namun jumlah jemaah haji meningkat tiap tahun, termasuk mereka yang datang dari kalangan ABRI, birokrat, teknokrat, bahkan para artis dan kaum selebriti.
Keadaan itu dapat ditafsirkan bahwa umat Islam ternyata bisa di ajak kompromi. Beberapa kalangan mengatakan, bahwa kemesraan hubungan (sebagian) umat Islam dan pemerintah itu sebagai bernuansa mutual-simbioistik (keadaan saling menguntungkan). Umat Islam mendapat beberapa konsesi sosial dan politik yang moderat, Suharto mendapat kekuasaan yang menurut kalangan tertentu tetap dianggap otoriter. Oleh karena itu Suharto mulai lupa dengan asosiasi nasrani, sosialis dan nasionalis sekuler yang di masa awal Orba sangat aktif membantunya menekan Islam. Mereka yang ada di GOLKAR mulai diganti dengan orang-aorang yang lebih Islami. Di ABRI yang menurut sumber tahun 1970-an dan awal 80-an, 75 persen perwira tingginya adalah kalangan lain, terutama Nasrani, berikutnya mulai diberi peluang kepada yang lebih Islami. Sehingga muncul gosip ABRI merah putih dan ABRI hijau. Begitu pula di kalangan politikus yang duduk di DPR dan MPR. Hal itu berlaku karena secara sepihak Suharto dapat mengangkat dan memberi peluang orang yang dikehendakinya untuk duduk di posisi-posisi strategis. Termasuk mereka yang berasal dari Parpol di luar GOLKAR, perlu rekomendasinya. Maka jadilah DPR dan MPR apa yang disebut media massa tahun 1992 –1993 sebagai ijo royo-royo.

Plus-Minus Reformasi

Keadaan ini tidak lebih dari satu dekade. Bulan madu kalangan Islam tertentu dengan Suharto itu terlalu singkat. Awal tahun 1993 Amien Rais, waktu itu salah seorang Pengurus Pusat Muhamadiyah di dalam Tanwir[9] orgnisasi ini di Surabaya sudah mencanangkan bahwa Suharto harus turun dari kursinya pada Oktober 1993. Belakangan karena Suharto masih duduk, Suharto berhasil merangkul Amien dan melalui tangan tertentu kabarnya Amien dapat menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah pada Muktmar organisasi ini di Aceh tahun 1995. Hal itu diperkirakan karena pada waktu itu, siapa pun yang akan duduk di puncak organisasi besar bertaraf nasional, mustahil tanpa klarifikasi Suharto. Tetapi Amien bukan tipe yang mudah dijinakkan. Bahkan setelah dia menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah ia semakin vokal. Dengan cara yang sangat licik, bahkan Amien dimundurkan dari Ketua Umum Dewan Pakar ICMI oleh Suharto.
Walaupun demkian, Amien dianggap menjadi lokomotif gerakan reformasi Indonesia. Bila sebelumnya Amien dianggap tukang azan, menyerukan shalat, maka kini Amien siap menjadi imam, siap bediri di depan untuk reformasi(Thohari dalam Najib, 1998, 105). Walaupun di tahun 1980 sudah ada opposan Suharto seperti kelompok Petisi 50 di antaranya M. Natsir menjadi salah satu penanda tangannya, dan untuk hal tertentu kelompok Fordem Gus Dur di akhir 1980-an serta kelompok kritis lainya, namun semuanya dapat dipatahkan Suharto. Barulah setelah angin perubahan global, seperti telah disinggung di atas tadi, berlanjut dengan krisis moneter, krisis eknomi dan krisis kepercayaan yang multi dimensi, ditambah dengan gerakan moral dan fisik mahasiswa, Suharto mengahadapi nasibnya jatuh dari kekuasan. Habibie yang menggantinya (21 Mei 1998-23 Oktober 1999) dalam kaitan analisis ini, boleh dikatakan tidak mengubah peta situasi. Umat Islam sedang menikmati gebyar reformasi. Apalagi melihat Habibie yang tampil, maka simbol islam semakin dianggap kian kokoh. Habibie berhasil meng-ICMI’kan kabinetnya. Mantan pemimpin HMI dan beberapa pentolan kelompok strategis lainnya dari Muhammadiyah dan NU berperanan besar dalam GOLKAR. Kaum nasionalis sekuler, sosialis dan nashrani kian terpinggirkan. Begitu pula ditubuh ABRI. Apa yang dianggap kelompok hijau tetap bertahan , bahkan semakin kuat walaupun Suharto lengser.
Habibie tidak segan-segan mengangkat orang-orang seperti Adi Sasono yang Sekjen ICMI, Fahmi Idris tokoh HMI, tentu Aklbar Tanjung dan sederetan lainya duduk di dalam kabinet dan kelompok kerja Presidensialnya. Namun sebagai dimaklumi, sebagai seorang teknokrat-teknolog, nampaknya Habibie tertipu oleh keadaan. Memberikan opsi merdeka atau integrasi kepada Timor Timur, dianggap sebagian orang sebagai puncak kebijakan blunder Habibie. Begitu pula pencabutan SP3 Suharto, serta kebijakan ideologis-politisnya terlalu ke kanan (Islam). Faktor-faktor ini dianggap beberapa analis sebagai aksi kecerobohan Habibie dalam mempertahankan kekuasaannya. Namun tak urung banyak juga yang memuji. Di tengah badai dahsyat krisis moneter dan ekonomi, Habibie mampu menurunkan nilai tukar dolar US dari Rp. 15000 menjadi Rp.6700-Rp.7500. Begitu pula puluhan undang-undang dan peraturan yang lebih demokratis dan desentralistik berhasil diselesaikannya. Di antaranya UU tentang Partai Politik dan Pemilu, UU Otonomi Daerah dan UU Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam UU Parpol, hal yang sangat ditunggu-tunggu kaum “islam-politik” hendak menjadikan Islam sebagai asas partai terkabulkan. Dari 160 Parpol yang terdaftar hampir 25 persen berasaskan islam. Dan dari 48 parpol yang ikut Pemilu, sekitar 40 % atau lebih sepertiga (17 Parpol) menisbatkan dirinya kepada partai islam meskipun ada yang menambah dalam asasnya dengan Pancasila seperi PAN dan PKB (Basyaib,1999:iii). Mengingat kuatnya cengkeraman tangan Presiden terhadap DPR yang membuat UU di mana anggota DPR itu masih produk Pemilu 1997 era Suharto, walaupun sudah di zaman reformasi, maka keadaan itu boleh dikatakan bahwa secara demokratis Habibie membuka peluang kepada umat islam. Tentu peluang itu juga kepada umat lain untuk merealisasikan cita-cita ideologinya menurut agama, moral, nilai budaya dan sejarah serta pahamnya masing-masing. Keadan menjadi lain, ketika pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR dalam SI MPR Oktober 1999 dan Habibie gagal menjadi Presiden kembali. Semuanya menjadi plus-munisnya reformasi bagi religiousitas dan ideologi umat.

Religiousitas Spiritualistik dan Tarik Menarik Ideologi

Selesai terpilih sebagai Presiden, Gus Dur lalu ziarah ke Makam kakek dan mertuanya. Di setiap kesempatan, Gus Dur mencari kuburan tua yang dianggap semasa hidup mendiang itu adalah orang yang alim, tinggi ilmunya dan lebih dari itu mempunyai ilmu tarikat yang tinggi. Budaya istighasah yang sudah menjadi populer di kalangan NU semakin semarak. Di era Suharto dan Habibie islam modernis-ekomodatif menjadi mayoritas bisu terhadap perilaku politik Suharto, tetapi bangga dengan syiar dan simbolitistik Islam. Kelompok ini di era Gus Dur tersingkir. Yang naik adalah kelompok modernis-kritis dan tradisionalis radikal (Fealy dan Barton, 1996) di zaman Gus Dur. Berbagai julukan penulis dan analis terhadap Gus Dur pada dasarnya mengelaborasi progresifitas, radikalisme, demokratisasi, pluralistik, humanistik, toleransi serta sekularistiknya Gus Dur.
Semuanya itu memberi dampak plus-minus bagi situasi religiousitas dan ideologi umat. Gus Dur Gus Dur seperti pidatonya di Sidang Tahunan MPR Agusutus 2000 ini menekankan kembali rekaman cetak biru raksasa (giant blue print) visi dan misi perjuangannya yang dilandasi filsafat pribadinya yang ia sebut sebagai : pluralisme, toleransi dan kemanusiaan. Lembaran pemikiran Gus Dur itu di awal kepresidennya telah membangkitkan perlawanan dan mengentalnya sentimen religiousitas dan ideologi sebagian kelompok strategis umat Islam. Antara lain ketika Gus Dur berniat membuka hubungan dagang dengan Israel dan mencabut TAP MPR No. 25 Th. 1966 tentang pelarangan komunisme. Begitu pula pernyataannya tentang Departemen Agama sebagai arena pasar dan terlalu menitik beratkan hanya kepentingan satu agama (Islam?) , Mesjid Istiqlal harus dikelola oleh berbagai pemeluk agama seperti Katedral di Washington, MTQ terlalu mubazir, urusan agama harus diurus oleh pemeluknya masing-masing dan pemerintah tidak akan ikut campur. MUI harus lepas sama sekali dari pengaruh pemerintah .
Tentu saja pernyataan-pernyataan Gus Dur untuk bagian-bagian tertentu ada maunya dan bagian tertentu ada benarnya. Misalnya soal Departemen Agama sebagai pasar yang dimaksudnya sebagai jual-beli kepentingan. Pernyataan ini agaknya lebih tepat sebagai pelampiasan sakit hati sekaligus kegembiraan Gus Dur. Sakit hati, karena sejak Orba, setelah Ahmad Dahlan, jabatan Menteri Agama lepas dari tangan NU dan pindah ke tangan non-NU. Berturut-turut dipegang oleh Mukti Ali, Alamsyah, Munawir Sjazali. Tarmizi Taher dan Malik Fajar. Kegembiraan Gus Dur tentulah setelah Ia menjadi Presiden, maka NU kembali ke jabatan kesayangannya. Dengan ungkapannya yang pejoratif (merendahkan) tersebut diharapkan tidak ada yang protes kalau NU kembali ke kursi ini. Benar saja Drs. H. Tolchah Hasan , Rektor UNISMA Malang dari NU diangkat menduduki posisi Menteri Agama ini.
Soal MTQ mungkin dapat dianggap pada aspek tertentu ungkapan Gus Dur mengenai mubazir ada benarnya. Akan tetapi MTQ sekarang di samping tilawah, juga dipertandingkan hifzil Qur'an dan syarhil Qur'an, serta fahmil Qur'an serta gerakan kecintaan umat kepada Qur'an, pameran kaligrafi dan sebagainya. Semuanya itu tak bisa dinilai dengan materi. Bukankah Pekan Olahraga Nasional (PON) melebihi biaya MTQ ? Bila MTQ bersifat spiritual, mental dan budaya, maka olahraga adalah bersifat fisik-jasmani dan mental budaya juga. Menyangkut MUI yang terlalu dekat dengan pemerintah, Gus Dur nampak menutup mata akan kenyataan umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Lebih dari itu MUI tidak sama dengan KWI dan PGI . Yang pertama menganut prinsip kesalehan individual harus seimbang dengan kesalehan sosial. Syariat tidak bisa tegak kalau tidak ada topangan kekuasaan atau pemerintah. Sementara yang kedua, jelas-jelas menganut prinsip sekularisme murni. Agama adalah urusan individual, kekuasan pemerintah tidak boleh ikut campur begitu pula sebaliknya. Urusan Istiqlal tentulah tidak mungkin dapat disamakan dengan Katedral di Washington, karena sejarahnya berbeda. Istiqlal adalah proyek mercusuar Sukarno di masa lalu sangat dibanggakan umat Islam Indonesia. Lebih dari itu status Masjid bagi umat islam tidak sama dengan Gereja baik secara fisik apalagi secara spiritual.
Di dalam rangka mengambil hati kaum minoritas, Gus Dur berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang hanya membatasi kerukunan hidup internal, antar umat beragama dan antara umat Islam dengan pemerintah yang disebut trilogi kerukunan. Gus Dur secara lantang menolak ketentuan perlu izin pemerintah untuk membangun rumah ibadah seperti yang tercantum di dalam ketentuan Mendagri dan Menag No. 1 Tahun 1969. Begitu pula Gus Dur mencabut ketentuan pelarangan perayaan tahun baru Cina dan budaya Cina serta mengakui Kong Hu Cu sebagai agama. Apa yang dilakukan Gus Dur dikutip oleh media massa Barat sebagai upaya Gus Dur memperlihatkan wajah manis Islam(Slobodan Lekic, 2000). Sesuatu yang sebenarnya keliru. Karena ketentuan-ketentuan sebelumnya tadi itu bukanlah hasil rekayasa umat Islam, tetapi suatu bentuk rekayasa sosial rezim sebelumnya tanpa konfirmasi dengan umat Islam atau organisasi massa dan pemimpin umat Islam. Oleh karena itu, wajah manis Islam bukan ciptaan Gus Dur tetapi sudah dari asal mula proses sosialisasi islam sejak masa awalnya.
Kontroversial paling akhir adalah pernyataan Gus Dur tentang keinginan untuk mengamendemen UUD '45 ayat 1 Pasal 29. Upaya memasukkan 7 kata : "menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" pada ST-MPR baru-baru ini dikatakannya sebagai upaya formalisme agama. Dan itu menurut Gus Dur, seperti dikutip Matori Abdul Djalil, bila menjadi kenyataan, akan dapat menciptakan keresahan umat (Detik.com 19/8/2000). Konstatasi itu terkesan sangat simplistis. Suatu kesimpulan yang terburu-buru dan tidak demokratis. Padahal fakta menunjukkan bahwa komisi A, ST-MPR baru lalu belum sempat membahasnya karena tidak dialokasikan waktu secara efketif dan efisien. Lebih dari itu, pimpinan Komisi A yang diketuai Yakob Tobing sekan-akan melalaikannya. Inilah kenyataan seperti diungkapkan Nurdiati Akma dari frakri reformasi di ujung persidangan tersebut. Dengan demikian, ucapan Gus Dur tadi dapat mengancam praktek demokrasi yang hendak ditegakkan dan selama ini selalu ia elu-elukan.
Sebaliknya apakah kehendak kelompok masyarakat yang terwakili di dalam fraksi PPP, PBB dan reformasi untuk mengamandemen pasal 29 UUD'45 itu bertentangan dengan tema sentral Gus Dur tentang pluralisme, toleransi dan kemanusiaan di atas tadi?. Mengapa jauh sebelum persoalan itu diperdebatkan secara formal di lembaga yang tepat untuk itu (MPR) dalam suatu wacana demokrasi yang sehat, telah a priori dituduh sebagai biang keresahan?. Jawabannya dapat dirujuk ke belakang dan itu terdapat di dalam filsafat politik Gus Dur . Menurut Mark R. Woodward (1998) filsafat politik Abdurrahman Wahid adalah:
mengkombinasikan kesalehan Islam (individual ?. Pen.) dan apa yang disebutnya "kemanusiaan universal". Ia menjelsakan bahwa secara metodologis, NU masih tetap sepenuhnya tradisional, tetapi organisasi itu memanfaatkan penalaran fiqih mazhab Syafi'i untuk sampai pada pandangan-pandangan yang toleran dan pragmatis. Ia sepenuhnya berpegang pada gagasan negara sekular (huruf tebal, Pen.) di mana warga negara dari latar belakang berbagai agama memiliki hak-hak yang sama. Ia dengan gigih menentang setiap upaya untuk memasukkan ketetapan hukum Islam mengenai perzinaan dan pemurtadan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, dan (Ia)menyebut penerapan hukum pidana "Islam" di Malaysia sebagai "kembali ke zaman kegelapan.

Banyak penulis dan pengamat di dalam dan luar negeri mengatakan Gus Dur sebenarnya di samping penganut humanisme universal, juga pejuang demokrasi. Dan semua ingatan tetap akan mengaitkan kenangan dengan Forum Demokrasi (Fordem) yang digagas dan kemudian dipimpin Gus Dur dekade terakhir pemerintahan Suharto. Aksi Fordem itu ternyata merupakan ledakan endapan pemikiran Gus Dur sejak 1970-an seperti diungkapkan Greg Barton (1999) mengutip tulisan Abdurrahman Wahid (1978): "Demokrasi Haruslah Diperjuangkan":

Di negeri kita demokrasi belum lagi ditegakkan dengan kokoh masih lebih berupa hiasan luar bersifat kosmetis daripada sikap yang melandasi pengaturan hidup yang sesungguhnya. Dalam suasana sedemikian ini, unsur-unsur masyarakat yang ingin melestarikan kepincangan sosial yang ada dewasa ini tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk membendung aspirasi demokratis yang hidup di kalangan mereka yang menyadari betapa perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini.

Apabila Gus Dur memperjuangkan demokrasi, seperti dikutip Barton tadi, tentulah harus diartikan demokrasi dalam memperjuangkan ketimpangan sosial, ekonomi, politik dan HAM serta memperjuangkan legalitas ideologi lain seperti rehabilitasi komunis seperti telah disinggung pada bagian terdahulu. Akan tetapi soal aspirasi sebagian umat Islam untuk mendapat pengayoman dalam menjalankan syariat agamanya , dengan mengamandemen pasal 29 UUD '45 tadi, dianggap oleh Gus Dur sebagai upaya formalisme agama yang akan meresahkan masyarakat.

Proyeksi ke Depan

Dari beberapa cuplikan gagasan dan pemikiran dan aksi Gus Dur yang kini tengah berkuasa, maka dapatlah dibayangkan proyeksi ke depan situasi religius dan ideologi umat Islam Indonesia dalam dua skenario. Pertama, bila Gus Dur tetap berkuasa , paling tidak sampai 2004 apalagi kalau melebihi batas waktu itu, maka apa yang dikatakan sebagai pemisahan agama dan negara akan semakin nyata. Yang bakal terjadi adalah, bila ekonomi semakin membaik, maka kesalehan individual akan terpelihara. Keadaan itu untuk aspek tertetu, misalnya kemauan naik haji dan ibadah mahdhah lainnya terus akan berkembang. Seperti yang terjadi pada masa-masa Suharto. Sementara itu, upaya memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam hukum, perundang-undangan akan menghadapi kendala yang berat. Di parlemen berhadapan dengan PDIP, KKI, dan kalangan GOLKAR serta kelompok nasionalis sekuler lainnya yang mayoritas. Sementara PBB, PPP, fraksi kecil Islam lainnya akan semakin terdesak dalam perjuangannya. Di luar parlemen, di tataran pemerintahn eksekutif, dengan komando Gus Dur dan Megawati, apa saja yang berbau Islam ideologis dan syari'at tidak bakal lolos.
Kedua, bila Gus Dur hanya sampai tahun 2004, atau lebih cepat dari tenggat waktu tersebut turun tahta, maka situasi religiousitas dan ideologi umat belum akan juga berubah ke arah yang diinginkan pihak-pihak yang idealis. Karena cendekiawan muslim yang ada serkarang , banyak yang tidak ikut di gelanggang perjuangan. ICMI sedang menju ke lembah nasibnya sendiri. Para birokrat dan teknokrat Islam sebagian besar kembali ke dunia profesinya masing-masing. Kalaupun ada yang di dunia politik praktis, itu hanyalah mereka yang sudah pensiun, satu dua ada pengusaha. Yang lebih tragis lagi adalah bahwa kalangan islam yang aktif di politik sekarang adalah mereka yang dianggap tidak mempunyai masa depan di dalam kehidupan profesional lainnya. Dunia politik sekarang tidak menarik bagi kalangan berilian Islam. Padahal perubahan bangsa ditentukan oleh kaum penentu kebijakan alias penguasa dan itu harus direbut melalui jalur politik. Kalau pun Gus Dur turun nantinya, besar kemungkinan "Gus Dur" baru bakal muncul lagi dalam format berbeda tetapi sekularisme yang sama. Syukur kalau Allah membalikkan situasi lagi kepada yang lebih berpihak kepada-Nya. Dan itulah yang ditunggu seperti yang dikatakan Natsir di awal tulisan ini. و الله اعلم بالصواب , انشاء الله***



DAFTAR KEPUSTAKAAN
Agus Edi Santoso, Tidak ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem, Jakarta: Jambatan, 1997

Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.

Amien Rais, Tauhid Sosial, Bandung: Mizan, 1998
Crane Brinton, The Shaping of The Modern Mind (Pembentukan Pemikiran Moderen), Jakarta: Mutiara, 1981.

Dahl, Modern Political Analysis, N.J. : Printice-Hall, 1963.
Deliar Noer, "Hatta dan Partai Islam" dalam Hamid Basyaib, Mengapa partai Islam kalah, Jakarta: Alvabet, 1999.

Dreg Fealy, Greg Barton, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdatul Ulama - Negara, Yogyakarta: LKIS, 1997.

Ellyasa KH. Dharwis, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKIS, 1997.
Hamid Basyaib-Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah: Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu '99 sampai Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet, 1999.

H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta:Pustaka Antara, 1999.
M. Natsir, Endang Saifuddin Anshari, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: LIPPM, 1989.

Muhammad Najib, Suara Amien Rais Suara Rakyat, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Sahar l. Hasaan, dkk., Ed. Memilih Partai Islam: Visi, Misi, dan Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.

Mark R. Woodward, Ed. Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.

Slobodan Lekic, "Indonesia Struggles with Islamic Identity", Associated Press, 7 September 2000.
[1] Drs. H. Shofwan Karim, M.A. sedang menyelesaikan Program S3 Pascasarjana IAIN Jakarata dan Lektor Muda (III/d) dalam Mata Kuliah Perkembangan Modern di Dunia Islam pada Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang
[2] Pada tahun 1994, dari salah seorang Warga Indonesia di Belanda Penulis memperoleh keterangan bahwa naik haji melalui Belanda hanya perlu ongkos US $.1500. Waktu itu ongkos pesawat Belanda –Indonesia (PP) hanya US$ 900. Jadi bila orang Indonesia akan berhaji dari Indonesia melalui Belanda hanya perlu US$ 2400. Sementara waktu itu ONH Indonesia adalah US$3500. Tahun 1996 di Mekah dari jamaah haji Malaysia, Penulis memperoleh informasi bangsa ONH Malaysia hanya US$2000, sementara Indonesia tetap seperti 1994, US$3500.
[3] Sebagian dana untuk ini adalah dari potongan gaji Pegawai Negeri di Indonesia antara 100 sampai 1000 rupiah dari golongan I sampai golongan IV.
[4] Formalistik dan ideologis yang dimaksud di sini adalah yang berhubungan dengan pendapat menganggap bahwa pentingnya negara Islam dan syari’at islam ada di dalam konstitusi dan tercermin di dalam hukum dan perundang-undangan , peradilan dan tata sosial kemasyarakatan.
[5] Nurcholis Madjid membedakan antara sekularisasi sosiologis sebagai sesuatu yang bersifat desakralisasi simbol-simbol dan sekularisasi filosofis yang dikatakan sebagai sekularisme yang harus ditolak . Lihat, Nurcholish Madjid, “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia” dalam 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Pelita, t.t.) h. 215.
[6] Ketiganya adalah kerukunan hiup intern umat bergama, kerukunan hidup antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah.
[7] Muhammadiyah, MUI dan beberapa Ormas Islam selain mencantumkan di dalam Anggaran Dasar organisasinya asas Pancssila, juga memuat pasal baru yang disebut akidah . Mereka mencantumkan akidah Islamiyah. Kecuali DDII dan PII tidak pernah mengubah asasnya, meskipun ada UU N0. 8 Thaun 1985, kedua organisasi Islam ini tetap berasas Islam.
[8][8] Menurut sumber-sumber yang layak dipercaya, pada akhir 1970-an dan awal 80-an, Abdurrahman Wahid, kini Presiden Gus Dur merupakan salah seorang anggota dan aktif dikelompok ini.

[9] Tanwir adalah suatu instansi tertinggi kedua sesudah Muktamar dalam mengambil keputusan dan kebijaksanaan organisasi. Biasanya Tanwir berlangsung beberapa waktu dekat ke Muktamar yang akan memutuskan agenda Muktamar dan hal-hal strategis kebijakanorganisasi Muhammadiyah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengabdian Warga Muhammadiyah: Rekonstruksi Kiprah H. Amran dalam Pendidikan

Narasi Sahabat Alumni 1972: Dr. Dra. Hj. Nurhayati Zain, B.A., M.A