Postingan

Menampilkan postingan dari Juni 29, 2006

Surat dari london (3)

Gambar
Surat Shofwan Karim dari London (3): Biaya Hidup Termahal di Dunia Sahabatku H. Darlis, Zaili, Hasril dan Eko yang baik. Tidak fair rasanya. Sudah masuk hari keempat kami di London, masih bernostalgia Mesir. Lebih baik saya tunda laporan saya tentang Mesir yang belakangan itu. Padahal tak kalah pentingnya kunjungan kami ke Musim Tahrir. Disitu sejarah Fiar’an dan Peradaban Mesir sejak zaman kuno, klasik, tengah dan sebagian modern dipajang. Begitu pula perpustakaan manual dan elektronik super canggih untuk dewasa dan anak di Iskandariyah atau Alexandria. Pustaka satrana ilmu sekaligus objek wisata ini. Seterusnya objek lain di pantai Mesir indah menghadap laut Mediterania. Di situ jutaan orang tumpah. Lokal dan mancanegara. Bagaimana orang Mesir menikmati dan polah tingkah mereka musim panas. Serta soal-soal lainnya. Munurut putaran musim, di Eropa umumnya dan Inggris khususnya, sekarang juga tengah musim panas. Akan tetapi musim panas yang gagal, kata Pak

Mahasiswa Al-Azhar University, Kairo, Mesir dari Minangkabau

Gambar
Surat Shofwan Karim dari Kairo : Hifzi, Pengurus Wisma Nusantara Kairo Mahasiswa dari Piladang. Pak Darlis dan sahabat-sahabat persku Hasril, Zaili, Eko di Sgl, MM, Padek dan Haluan Yth. Kepada salah seorang di antara sahabatku, kemarin saya berjanji untuk menulis terus dalam perjalanan ini. Seperti yang sudah saya tulis sebelum keberangkatan kemarin, (entah sudah bapak terima dan baca) dalam email, kami berangkat dari Padang Pukul 12.55 dengan Garuda GA 844. Setelah transit di PekanBaru kami sampai di Singapura pukul 16.15 waktu Singapuara. Pukul 06.40 pagi ini (Kamis, 22/7) saya Imnati dan Adam sampai di Bandara internasional Kairo. Ada sedikit perbedaan proses imigrasi. Di Singapura dan Bangkok pemeriksaan imigrasi dan barang dilakukan secara otomotis dengan kotak sinar X ketika masuk dan keluar. Ini sudah biasa di seluruh ariport di dunia. Di sini, kotak Sinar X itu meskipun ada tidak terlalu diperlukan. Setelah ceking pasport dan slip kedatangan, oleh petugas di balik kaca lintas

Mohammad Natsir (1908-1993)

Gambar
Mohammad Natsir (1908-1993) Oleh Shofwan Karim Mohammad Natsir adalah seorang tokoh kunci dan pejuang yang gigih mempertahankan negara kesatuan RI, yang sekarang menjadi pembicaraan hangat karena melemahnya rasa kesatuan bangsa sebagai akibat reformasi yang kebablasan. Berkali-kali dia menyelamatkan Republik dari ancaman perpecahan. Ia lah yang pada tahun 1949 berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara, yang bersama Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Rum-Royen, untuk kembali ke Jogya dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Sukarno Hatta. Dia jugalah kemudian yang berhasil melunakkan tokoh Aceh, Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950, terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan kesalehan Natsir, sikap pribadi yang tetap dipegang teguh sampai akhir hayatnya. Natsir juga seorang tokoh pendidik, pembela rakyat kecil dan negarawan terkemuka di Indonesia pada abad kedua puluh. Kemudian ketika kegiatan politiknya dihambat oleh penguasa, dia
Gambar
ANALISIS TERHADAP RELIGIOUSITAS DAN IDEOLOGI DARI SOEHARTO KE GUS DUR (1966-2000) Oleh Shofwan Karim [1] Abstract Religiousity and ideological development of Indonesian Muslim to both regimes of Soeharto and Abdurrahaman Wahid or Gus Dur, expressively, to some extend has similarity and distincty. What so called guided democracy in the Soekarno administration were consist of three pillars national backbone. Those were nasionalism, religion of traditionalist faction, and communism in 1959-1965. In the other hand when Soeharto came to power, he built a strong system wich he called as the democracy of Pancasila . This authoritarian rule base on those were military, technocracy-bereucracy and Golkar Party. Furthermore, never before last October's 1999 election has the presidency gone to Abdurrahman Wahid a cleric and a leader of a large Muslim organization Nahdhatul Ulama. And yet, instead of trying to boost Islam's influence, President Gus Dur has flatly rejected calls to impose Is