Komentar SINGGALANG:












Kesan Ringan Bersama SBY
Oleh Shofwan Karim
Entah malaikat mana yang membawa saya mengalami hal istimewa Jum’at 13 Januari kemarin. Melihat mobil Wako dan Wawako cigin dari Masjid Raya Birugo arah ke Jambu Air, saya bersama Dr Yalvema Miaz dan Dr M Nefi Imran, cigin pula mengikuti ekor mobil no 1 dan 2 Bukittinggi. Rupanya kedua petinggi kota wisata tadi menceking persiapan makan siang untuk Presiden SBY dan Ibu Ani serta rombongan.
Merasa tak mungkin putar arah lagi, kami merangsek saja ke halaman rumah makan kapau di Kapeh Panji itu. Dengan pede, karena sudah lama kenal dengan Pak Jufri dan Pak Amril Azis saya ikut nebeng duduk di bangku depan sambil menunggu rombongan Presiden. Ketika Presiden dan rombongan masuk saya ikut saja berdiri di samping Wawako yang saya panggil Pak Datuak itu.
Mungkin tahu saya salah tingkah dan merasa tidak pantas ikut rombongan, cepat-cepat Pak Datuak menggamit tangan saya untuk duduk di sebelahnya. Meja kami berdekatan dengan Presiden SBY dan Ibu Ani. Sesudah Bu Ani ada Pak Irman Gusman, Pak Wagub dan Pak Wako Jufri. Berhadapan dengan Presiden dan ibu negara duduk Pak Gamawan dan Bu Vita serta dua ibu dari rombongan serta isteri Pak Wagub.
Kembali ke meja kami yang berada langsung di sebelah kanan Presiden, duduk Wawako, saya dan Panglima Kodam Bukit Barisan. Di hadapan kami duduk berderet isteri Pak Jufri Wako, isteri Kapolres dan seorang ibu lainnya. Sementara anggota rombongan seperti Sudi Silalahi, Dino Pati Djalal, Andi Malarangeng dan lain-lain sekitar 20-an orang ada pada deretan kursi pada meja di deretan depan dan samping kami. Kira-kira ada 30-an orang yang makan bersama siang sesudah shalat Jum’at kemarin itu.
Rupanya siang itu, sesudah memberi sambutan yang sejuk, dalam pidato singkat sesudah shalat Jum’at di Masjid tadi, kedua kepala negara Indonesia dan Malaysia, SBY dan Pak Lah punya agenda sendiri. SBY makan di rumah makan kapau, sementara Pak Lah makan dan bertemu dengan mahasiswa Malaysia yang belajar di Sumbar di Hotel Pusako.
Makan pun dimulai. Di sela-sela suap nasi dan juluran tangan mengambil lauk-pauk, saya beberapa kali melirik ke kiri, ke meja Pak SBY dan Bu Ani. Tampaknya mereka makan dengan nikmat. Kalau disebut lahap, mungkin tidak sopan. Tetapi dengan jujur dapat disebut makan pasangan RI 1 berhadapan dengan pasangan Sumbar 1 itu sangat santai, tenang dan memicu selera. Pak SBY sambil mengupil lauk dan menyuap nasi melontarkan guyonan segarnya.
Kepada Wako Jufri, Presidan SBY bilang, kalau berat badannya nambah 3 kg sepulang dari Bukittinggi, maka yang paling bertanggungjawab adalah ‘rang Kurai itu. Kepada Pak Sudi dan Andi dia juga melontarkan kalimat-kalimat pendek dan segar. Begitu pula kepada beberapa anggota rombongan lainnya, SBY bicara lepas dan santai, akrab dan ramah sambil mengudap hidangan.
Berbeda sekali dengan apa yang ada dalam khazanah pikiran saya. Dalam benak saya SBY itu formalistik, kaku, disiplin jenderal, dan memelihara jarak. Ternyata sebaliknya. Sebelumnya, sudah saya rasakan ketika beliau berjalan arah ke pintu masjid sebelum shalat Jum’at tadi. Meskipun ada pengawal yang membisikkan supaya jangan merangkul beliau, cukup salaman tangan saja. Tetapi ketika saya berdiri di samping Dato’ Ali Rustam Menteri Besar Melaka, bukannya kita yang merangkul, tetapi SBY yang mendahului sesudah salam tangan, dia merangkul dan adu pipi.
Dan selesai makan tadi, beliau berbincang-bincang santai dengan Gubernur Gamawan dan yang lain. Sepertinya beliau memberikan perhatian yang berimbang dan merata dengan para hadirin di suasana makan ini. Ketika bicara soal nomor kopiah, dia langsung mencoba kopiah yang sedang dipakai Wawako Bukittinggi. Saya lihat Pak Datuak mantan Sekda Sawahlunto ini kaget melihat Presiden begitu santai mencoba memakai kopiahnya.
Baru kemudian ketika ajudan Gubernur memberikan kopiah ukuran 8 tiga perempat, dia langsung coba lagi kopiah baru itu dan berkaca di tiang tengah rumah makan kapau ini. Apakah keramahan dan kesantaian siang itu karena SBY merasa senang selama 4 hari di Bukittinggi dan tak ada alasan sama sekjali untuk gundah gulana ?. Yang paling menarik, ini perasaan saya, pengawalan oleh Paspampres amat menyejukkan dan tak sedikitpun terkesan kaku serta menakutkan. Hal itu mungkin karena keamanan dan kenyamanan di ranah Minang ini amat mengesankan. Sesuatu yang menjadi keunggulan kita di sini, dan mungkin belum tentu demikian di tempat lain. Alhamdulillah. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengabdian Warga Muhammadiyah: Rekonstruksi Kiprah H. Amran dalam Pendidikan

Narasi Sahabat Alumni 1972: Dr. Dra. Hj. Nurhayati Zain, B.A., M.A