Mengapresiasi Pesantren Ramadhan

Oleh Shofwan Karim
Teras Utama Koran Padang Ekspres
www.padangekspres.co.id
Kamis, 19-Oktober-2006, 05:40:56 8 clicks


Tentu saja kita tidak bisa menyembunyikan kebahagian dan kegembiraan. Bahwa pelaksanan pendidikan agama di bulan Ramadhan sebagai ekstrakurikuler untuk SD, SMP dan SMA sejak beberapa tahun lalu kian semarak.


Kegiatan yang berlangsung di masjid dan mushalla di hampir seantero Sumbar itu sudah ada sejak 1970-an. Bahkan di luar Ramadhan, dulunya ada yang disebut kegiatan wirid remaja. Tetapi bagai air mengalir, arus yang paling deras kegiatan remaja di bulan Ramadhan ini adalah sejak dua atau tiga tahun terakhir ini.

Berdasarkan pengamatan kasat mata, yang paling serius memotivasi dan memberi apresiasi terhadap kegiatan Ramadhan luar sekolah itu adalah pemerintah kota. Ini dapat dilihat di kota Padang. Paling tidak tayangan media memang lebih banyak mengekspos yang di Padang. Dalam kaitan ini ada pertanyaan yang menggoda. Misalnya tentang istilah atau sebutan kegiatan. Istilah yang populer untuk kegiatan ini disebut Pesantren Ramadhan. Tentu saja kita tidak perlu cemburu. Mengapa bukan Surau Ramadhan sebagai istilah untuk nomenklatur kegiatan ini.

Ini mungkin pertanda budaya kalah, sebagaimana kecenderungan umum masa lalu merujuk kepada ketaatan budaya kita mencontoh jawa. Sebagaimana pula ketika tempat berkumpul massa dalam jumlah terbatas di rumah-rumah walikota atau bupati di Ranah Minang nan kita cintai ini, sekarang disebut Pendopo. Padahal, ada kata yang mungkin bisa dipertimbangkan antara lain ”balairung atau balerong dan palanta atau medan nan balinduang” dan sebagainya. Tetapi, sudahlah. Apapun sebutannya, yang penting isi kegiatan remaja di bulan Ramadhan itu amatlah positif.

Inilah yang perlu diapresiasi. Sebagai pendidikan luar sekolah, Pesantren Ramadhan, meski masih terkesan kemauan pihak atas, di mana peranan pemerintah kota atau kabupaten memotivasi amat tinggi, tentu saja sudah mulai menjadi gerakan massal. Paling tidak, hampir tiga pekan Ramadhan secara bergantian setiap pekan murid dan siswa SD, SMP dan SMA dan sederajat memperoleh pencerahan, pelatihan rohani dan peningkatan keimanan dan ketakwaan serta mempererat silaturahmi antarsesama yang selama 11 bulan di luar Ramadhan mungkin tidak berketahuan satu dengan lainnya.

Untuk sekadar contoh, dengan tidak mengurangi apresiasi pada daerah lain, di setiap masjid atau mushalla, oleh masyarakat lingkungan bersama pengurus masjid, atas anjuran kuat Pemko Padang di tunjuk panitia yang bekerja dengan dua sayap pembina kegiatan yang disebut tim instruktur dan tim guru pendamping. Tim instruktur merupakan anak muda, mahasiswa perguruan tinggi yang berbakat terutama dari IAIN dan sekolah tinggi agama lainnya. Sementara guru pendamping adalah para guru yang tinggal di sekitar masjid dan mushalla tempat kegiatan berlangsung.

Hikmah otonomi daerah termasuk otonomi pendidikan, mengesankan guru-guru selalu mendapat kontrol ketat oleh Pemko untuk melaksanakan tugasnya. Baik yang rutin di sekolah maupun yang insidentil seperti yang satu ini. Sehingga, untuk kasus tertentu, kekompakan guru-guru, tim instruktur, pengurus masjid dan mushalla serta tokoh masyarakat lingkungan, di tunjang oleh perhatian orang tua terhadap anak-anaknya untuk aktif , terkesan amatlah memadai.

Tentu saja tak bisa dipungkiri, pada lingkungan komunitas tertentu ada pula yang kurang memenuhi harapan. Misalnya di luar kota-kota, atau sebutlah di nagari-nagari dan di jorong-jorong yang jauh, tentu saja semarak Ramadhan tidak selalu merata, bahkan ada yang kurang terasa. Bahkan di perkotaan pun, terutama pada lingkungan yang tidak banyak guru-guru, atau pegawai negeri lainnya yang peduli dengan urusan sosial kemasyarakatan semacam ini. Tetapi hal itu tidak bisa mengurangi makna mayoritas pelaksanaan Pesantren Ramadhan yang sukses dan relatif sukses. Cerita sukses mungkin akan banyak dikisahkan. Tetapi berdasarkan pengamatan selintas, pada lingkungan tertentu, Pesantren Ramadhan, tak kurang pula yang hanya menuai kekecewaan.

Kita berharap untuk tahun depan, Pemko dan Pemkab dapat memonitor dan mengevaluasi keadaan itu. Termasuk yang amat strategis pula dievaluasi adalah jam pelaksanaan kegiatan serta isi kegiatan. Pada kasus tertentu, santri dijejali dengan kegiatan sejak dari sebelum subuh, sampai hampir berbuka. Kemudian disambung lagi tarawih dan tadarus sampai hampir larut malam.

Sebagian besar agenda diisi oleh tim instruktur dan guru pendamping dengan ceramah yang panjang. Maka tak heran kalau paling banyak anak dan remaja itu yang terkulai layu. Adakah cara lain yang lebih memberi peluang kepada peserta untuk aktif dengan bentuk-bentuk bermain peran, dinamika kelompok, ekspresi kemampuan individual atau kelompok kecil yang interaktif dan bahkan sedikit rekreatif? Ini semua terpulang kepada kita bersama. (*)

* Penulis Adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengabdian Warga Muhammadiyah: Rekonstruksi Kiprah H. Amran dalam Pendidikan

Narasi Sahabat Alumni 1972: Dr. Dra. Hj. Nurhayati Zain, B.A., M.A