Muhammadiyah di Tengah Lautan Parpol

Muhammadiyah di Tengah Lautan Parpol
Oleh Shofwan करीम

Sejak Muktamar Ujung Padang 1971 hingga tanwir-tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali Januari 2002; Makassar Juni 2003; Mataram, Desember 2004 dan Muktamar, Malang Juli 2005, berturut-turut terkristal abstraksi peranan warga Muhammadiyah dalam kehidupan bangsa secara mendasar. Di situ secara substantif dikatakan bahwa kewajiban dan hak politik adalah kewajiban dan hak setiap warga negara-bangsa. Oleh karena itu, setiap warga Muhammadiyah dapat mengaplikasikan hak-hak perorangannya dalam poiltik kebangsaan. Tetapi Muhammadiyah sebagai persyarikatan tidak terlibat dalam politik praktis. Setiap warga Muhammadiyah yang ikut politik praktis diminta menjadi teladan dalam akhlak dan etika politik serta menjunjung nilai-nilai luhur dalam politik. Diharapkan pula warga Muhammadiyah tersebut memilih institusi politik yang relevan dengan tujuan Muhammadiyah..
Di dalam perjalanan sejarah, lebih kurang 36 tahun belakangan ini ternyata warga Muhammadiyah selamat secara relatif dan mematuhi rambu rambu tersebut. Akan tetapi warga Muhammadiyah sebagian besar tetap saja, kadang kala terombang-ambing di tengah lautan partai politik dalam delapan kali Pemilu (1971- 2004). Di dalam suasana demikian tidak terpungkiri bahwa ada masalah-masalah laten maupun manifes, di antaranya sebagai berikut. Pertama, posisi sebagai pimpinan, aktivis atau paling kurang sebagai anggota partai selalu dikaitkan dengan wujudnya, keberadaan atau eksistensinya sebagai warga Muhammadiyah. Bagi yang pro, ini dianggap keuntungan. Bagi yang kontra dianggap hal itu merugikan citra Muhmmadiyah. Kedua, tidak selalu setiap tokoh Muhammadiyah yang duduk di Partai mencerminkan ketinggian akhlak politik yang diamanahkan Muhammadiyah dimaksud, sehingga tak jarang menuai buah busuk bagi Muhammadiyah. Ketiga, konflik kepentingan partai dapat merembes ke dalam Muhammadiyah. Sekedar misal, dalam memposisikan masing-masing kader parpol dalam kepemimpinan Muhammadiyah, atau sebaliknya dan di luarnya. Keempat, ada pergeseran bahkan pergesekan suka atau tidak suka bagi sesama warga Muhammadiyah. Kelima, menumbuhkan sikap ambivalen dan loyalitas ganda sehingga kadangkala kegiatan-kegiatan dalam amal usaha Muhammadiyah ada yang terabaikan. Keenam, tentu saja pada gilirannya muncul polarisasi dalam pergaulan dan cara berfikir antara keikhlasan dan interest (kepentingan) duniawi.
Di samping masalah-masalah tadi, tentu saja ada keuntungan dan positifikasi penyentuhan warga Muhammadiyah dalam politik praktis. Misalnya, ada penyaluran hasrat bahwa politik adalah medan dakwah strategis untuk amar makruf nahy mungkar Hal itu dikonsepsikan sebagai subsistem dalam pengamalan Al-Alqur’an (Lihat QS, Ali Imran, 3: 104, 110. Begitu pula politik dapat memperlicin jalannya kegiatan amal usaha. Bila seorang warga Muhammadiyah duduk di elit Parpol dan menjadi anggota legislatif atau posisi lainnya, maka dapat memperjuangkan kepentingan amal usaha Muhamamdiyah di bidang pendidikan, sarana ibadah, kesehatan, santunan sosial, ekonomi produktif dan sebagainya. Lebih dari itu, tentu saja keberhasilan di dunia politik dapat memposisikan warga Muhammadiyah menjadi elit bangsa, menjadi terpandang di mata sesama warga Muhammadiyah, umat dan masyarakat-bangsa.
Di tengah arus pertarungan kekurangan dan kelebihan di atas, penulis menawarkan hal-hal sebagai berikut . Pertama, kaum politisi Muhammadiyah harus memilih aktivitas politik yang mendasar dan mulia. Misalnya pergumulan dalam kancah ideologi Parpol bersangkutan. Banyak sinyalemen sekarang ini mensinyalir bahwa hal yang satu ini, kurang diminati oleh para aktivis partai. Pada setiap partai selalu ada Plat-form yang mengandung asas, tujuan, visi dan misi serta faham pemikiran dan konsespsi kehidupan bangsa yang diharapkan yang tercermin dalam AD-ART Parpol. Di sektor ini perlu warga Muhammadiyah bekerja untuk partainya lebih sungguh-sungguh. Kedua, sektor pembinaan SDM Parpol atau rekrutment dan pembinaan kader parpol dapat menjadi lahan politisi warga Muhammadiyah. Ketiga, jangan terjebak dalam kepentingan sesaat. Artinya, bila tidak mendapat posisi yang baik dan meyakinkan di satu Parpol, lalu hengkang ke Parpol lain. Hal itu akan membuat citra politisi warga Muhammadiyah luntur dan perilaku demikian dapat dianggap sebagai repleksi kelemahan dalam bertarung atau berkompetisi dengan pihak lain. Keempat, jangan terjebak dalam loyalitas ganda yang amat dalam. Anggaplah Muhammadiyah sebagai rumah “gadang” tempat kembali bila di Parpol sudah tidak mungkin lagi aktif bagi warga Muhammadiyah; Kelima, seyogyanya perbedaan parpol tidak mengurangi silaturrahim dan keakraban sebagai warga Muhammadiyah dan sesama warga-masyarakat dan ummat. Keenam, perkokoh akidah dan tertibkan ibadah serta perluas wawasan intelektual, wawasan silaturrahim dan komunikasi serta pergaulan sosial, sehingga bila tak aktif lagi di Partai, kehidupan sebagai warga Muhammadiyah yang Islami mendapatkan berkah dari Allah swt. dan tidak mengalami post-powersyndrome alias tidak merasa “jatuah tapai”****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengabdian Warga Muhammadiyah: Rekonstruksi Kiprah H. Amran dalam Pendidikan

Narasi Sahabat Alumni 1972: Dr. Dra. Hj. Nurhayati Zain, B.A., M.A