Pengabdian Warga Muhammadiyah: Rekonstruksi Kiprah H. Amran dalam Pendidikan
Haji Amran Sutan Sidi Sulaiman di apit olehnya isteri Dra. Hj. Maizarnis dan Rektor Univeritas Baiturrahman Prof. Dr. H. Musliar Kasim, MP (Foto: Internet Free)
Oleh Shofwan Karim
(Ketua PW Muhammadiyah Sumbar 2000-2005/2015-2020; Rektor UMSB 2005-2013)
Pertengahan tahun 1990-an, penulis bermaksud menghimpun tulisan tentang ulama dan tokoh Muhammadiyah Sumbar. Tulisan itu akan dimulai studi tokoh antara 1970-1990. Alasan pilihan batas waktu ini di antaranya karena bersamaan dengan masa penulis menjadi angkatan muda Muhammadiyah sebagai aktifis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pemuda Muhammadiyah.
Dengan begitu ingatan kognitif lebih segar dan memadai. Baru, kalau kerja itu sukses, akan ditarik ke belakang untuk menulis generasi sebelum periode tadi dan masa awal Muhammadiyah di Minangkabau seperti pembawa Muhammadiyah ke Sumbar Dr Syekh H Abdul Karim Amarullah, H Saalah St Mangkuto, Buya HAR Sutan Mansyur, Buya Prof Dr HAMKA, Buya H Duski Samad dan seterusnya. Nama-nama terakhir ini sudah banyak ditulis, tetapi yang khusus mengenai keterkaitan mereka dengan Muhammadiyah belum ditulis secara memadai walaupun pemikiran dan gerakan mereka dalam Muhammadiyah Minangkabau amat penting.
Keinginan penulisan itu terilhami dengan kerja kroyokan pada akhir 1970-an atau tepatnya 1980, ketika penulis terlibat dalam tim penulisan buku 20 Ulama Sumatera Barat yang diterbitkan oleh Islamic Centre Sumbar di bawah direkturnya Prof. Dr. H. M Sanusi Latif (alm) Rektor IAIN Imam Bonjol masa itu.
Dalam buku itu penulis ditugaskan menyusun biografi ulama, guru dan dosen serta aktifis Islam Buya H. Nashrudin Thaha dari 50 Kota yang menjadi dosen penulis di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang masa itu sebelum beliau wafat.
Kembali ke Muhammadiyah, ada beberapa tokoh ulama dan pimpinannya yang menonjol antara 1970-1990 itu. Di antaranya Buya Haji Darwas Idris, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah di tahun 1970-an. Beliau juga Imam Besar Masjid Raya Muhammadiyah Pasar Raya Padang yang sekarang bernama Masjid Taqwa Muhammadiyah. Berikutnya H Harun El-Ma’any, ahli Ilmu Falak dan Hisab, pimpinan Kauman dan Imam Besar Masjid Raya Jihad Padang Panjang.
Buya H Zulkarnaini atau Buya Zul dan Buya H Zainal Abidin Syuaib atau Buya Zas dari 50 Kota dan Buya H Samik Ibrahim di Pasa Gadang Padang, Buya H. Radhin Rahman dan Prof. Drs. H. Nur Anas Jamil.
Terhadap Buya H Darwas Idris, bahan tulisan dan wawancara sudah penulis mulai menggarapnya pada tahun 1990-an. Sayang seribu kali sayang, kaset rekaman itu hilang dan tulisan-tulisan yang sudah dihimpun hancur lantaran tanpa setahu penulis, lembaran-lembaran tulisan tangan dan ketikan itu basah oleh rembesan hujan di balik almari buku yang kemudian hancur dan tidak bisa dibaca lagi.
Penulis mulai mewawancara H Wisran “Haji Darwas Idris” Hadi tentang Buya Darwas Idris (selanjutnya disebut Buya). Selesai wawancara, Wisran merekomendasikan untuk menggali lebih dalam tentang Buya yang ulama, muballigh, dosen dan pernah Dekan Fakultas Syari’ah dan Rektor Universitas Muhammadiyah Sumbar tersebut terhadap beberapa nama.
Bang Wis, begitu penulis memanggilnya adalah putra Buya. Penulis kenal dengan budayawan, sastrawan dan seniman ini pada tahun-tahun Buya masih hidup. Bang Wis di samping penulis naskah drama dan juga pemain teater, belakangan terkenal dengan Bumi Teaternya. Pada 1970-an itu, sekali sekali penulis dibawa ikut latihan teater bersama BHR Tanjung, Yusfik Helmi, Leon Agusta, Makmur Hendrik, Darman Munir, “Upita Agustine” Puti Reno Raudha Thaib (belakangan menjadi isteri Bang Wis) Yanuar Abdullah, Zainul Basrti, Alwi Karmena.
Bang Wis mengatakan bahwa semasa Buya menjadi Imam Besar Masjid Muhammadiyah Pasar Raya, ada pengajian tafsir yang rutin. Salah satu anggota jamaah atau murid pengajian itu yang tetap dan hampir tidak pernah absen adalah Bapak H Amran yang akan kita bicarakan berikut ini.
Menurut Bang Wis, kaset rekaman pengajian Tafsir Buya lebih dari seratus buah masih tersimpan dan sekali-sekali didengar ulang oleh Bapak Pendiri dan pemilik Yayasan Baiturrahamah tersebut. Penulis berhasrat sekali untuk becakap-cakap dengannya dan mendengar kaset itu serta menganalisis untuk memahami apa isi pengajian Buya pada masa itu. Hal itu amat penting, karena salah satu kesulitan mengkaji pemikiran Islam di Minangkabau di antaranya belum optimal penggalian pemikiran-pemikiran dari tokoh ulama dan gerakan Islam di zaman kontemporer ini di negeri yang selalu didengungkan sebagai adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah , syara’ mengatakan, adat memakaikan.
Usaha menemui Pak Haji, demikian sebutan yang lazim penulis dengar dari kalangan dalam Baiturrahmah terhadap pimpinan mereka itu, sudah penulis lakukan beberapa kali tetapi belum kesampaian. Padahal, anak penulis yang ketiga belajar di Taman Kanak-Kanak dan SD Baiturrahmah pada peralihan tahun 1980-an ke 1990-an.
Yang nomor 4, bahkan sekarang masih di SD Baiturrahmah (2002-2008). Wacana tentang Baiturrahamah tentu saja tidak kalah menariknya dikaitkan dengan Pak Haji ini. Pada ujung 1970-an memasuki tahun 1980-an, Yayasan Baiturrahmah mendirikan sekolah-sekolah sejak dari Taman-Kanak, SD, Sekolah Menengah dan Sekolah Tinggi kemudian Universitas.
Guru-gurunya diambil Pak Haji mayoritas dari alumni IAIN Imam Bonjol Padang. Pada masa itu belum ada sekolah Islam yang bergengsi apalagi menyamai sekolah-sekolah negeri dan swasta Kristen.
Apa yang dilakukan Pak Haji rupanya kemudian berhasil dengan baik. Taman Kanak-Kanak dan SD.
Yayasan ini berhasil mencetak kualitas lulusannya ke peringkat papan atas. Mungkin itu yang membuat Pak Haji semakin bersemangat mengembangkan institusi sekolahnya ke tingkat menengah, lanjutan dan perguruan tinggi. Di samping itu, Pak Haji penulis anggap telah mengangkat harakat dan martabat sajana lulusan IAIN terutama bidang pendidikan yang mengabdi di sekolah-sekolahnya.
Di saat itu, ada anggapan alumni IAIN kurang laku. Sebagai guru, tentulah orang menoleh ke alumni IKIP Padang pada masa itu. Pak Haji di samping mengambil lulusan IKIP sebagai gurunya, lebih banyak lagi yang dari IAIN. Tampaknya jumlah guru-guru wanita lebih banyak. Mereka berpakaian baju kurung putih, tutup kepala putih dan bawahannya kain panjang batik. Tampak necis. Dan rasanya itu menjadi “bench mark” bagi lembaga pendidikan ini.
Sekolah-sekolah Baiturrahmah kini mampu menampung selera orang tua kelas menengah ke atas untuk pendidikan putra-putri mereka. Tentu saja dengan biaya yang melebihi sekolah-sekolah lain baik negeri maupun swasta di kota ini. Namun bagi kalangan orang tua yang mempunyai motivasi tinggi ingin memajukan anak-anaknya, menganggap biaya yang dikeluarkan seimbang dengan hasil yang mereka peroleh, berimbang.
Keadaan itu merupakan sesuatu yang membuat penulis merenung lebih jauh. Renungan itu terkait dengan posisi penulis sebagai salah seorang aktivis Muhammadiyah. Mengapa lembaga pendidikan Muhammadiyah yang banyak itu selama ini, hanya sedikit yang mampu bersaing dengan lembaga pendidikan negeri (pemerintah) bahkan dengan sesama swasta lainnya di daerah ini.
Padahal sekolah-sekolah Muhammadiyah di daerah lain, di Jawa atau khususnya Yogayakarta, misalnya, sekolah sekolah Muhammadiyah sangat berkualitas dan mampu bersaing dengan yang lain.
Dari pengamatan dan pengalaman sementara ini, ada bebeapa faktor yang perlu dipikirkan. Misalnya soal beralihnya orientasi lembaga pendidikan dari masa lalu ke masa sekarang. Dulu, sekolah atau lembaga pendidikan adalah institusi masyarakat dan bersifat sosial. Sekarang menjadi industri pendidikan.
Dalam industri pendidikan diperlukan satuan manajemen yang padu dan kompak, mandiri dan punya otoritas penuh. Tentu saja perlu modal usaha untuk sarana, prasarana, fasilitas, perangkat keras dan lunak serta perlengkapan yang cukup. Tersedia sumber daya manusia pengelola yang bekerja keras dan penuh waktu.
Lebih dari itu harus dengan manajemen moderen dan profesional. Sekolah-sekolah Muhammadiyah di daerah ini tampaknya sebagian besar masih seperti masa lalu sebagai lembaga pendidikan milik masyarakat dan bersifat sosial. Di Jawa, lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah banyak yang beorientasi industri pendidikan itu. Organisasi atau di kalangan Muhammadiyah disebut persyarikatan, lebih kepada sebagai simbol saja dan tidak terlalu dalam ikut di dalamnya.
Mungkin di Sumbar, seperti kauman Padang Panjang, Pesantren Al-Kautsar di Payakumbuh, Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Sawah Dangka Bukittinggi dan lainnya, harus diubah cara pengelolaannya dan perlu sentuhan tangan-tangan profesional dan punya modal serta tenaga manusia yang memadai. (Tahun 2020 pensantren-pesantren tadi sudah sampai ke tahap yang hebat) . Sebagian sekolah Muhammadiyah dewasa ini, masih diurus oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah yang belum sanggup mengubah pola dan orientasi pengelolaan dan manajemen lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Sebagian ada pula dengan cara mereka sendiri melakukan terobosan secara mandiri dan kelompok dengan tidak mengkaitkan dengan persyarikatan Muhammadiyah. Ambil contoh tokoh Pak Haji kita ini. Begitu pula beberapa orang yang mengelola Pesantren Prof. Dr. HAMKA di Pasar Usang Pariaman. Baik pak Haji maupun sekelompok pengelola Pesantren HAMKA tadi, nota bene semuanya adalah warga Muhammadiyah bahkan tokoh Muhammadiyah. Sebutlah almarhum H Amir Ali (alm adalah Kakanwil Depdikbud dan setelah pensiun menjadi Ketua PW Muhammadiyah Sumbar 1985-1990), Nursal Saeran, Prof Dr Mansyur Malik (alm) dan kini Prof. Dr. H Masnal Zajuli dan Prof Dr. Edi Syafri yang mengelola pesantren yang mengambil nama HAMKA itu.
Walaupun demikian tentu saja lembaga pendidikan Muhammadiyah telah berperanan besar dalam membangun sumber daya manusia dan menampung pendidikan anak-anak, remaja dan pemuda provinsi ini. Dan itu sudah dimulai sejak lama sekali bahkan hampir setua usia Muhammadiyah Sumbar yang secara resmi masuk ke Minangkabau pada tahun 1925. Muhammadiyah di ranah Minang atau Sumbar ini telah memiliki lembaga pendidikan di seluruh pelosok, kota dan nagari secara kasar berjumlah lebih kurang tiga ratus (300) unit. Sejak dari Taman Kanak-Kanak atau Raudhatul Athfal yang dikelola Aisyiah, SD, MIN, SMP, Tsnawiyah, SMA dan MAN dan pesantren bahkan sampai ke universitas telah dimiliki oleh Muhammadiyah Sumbar. Khusus (2007) Universitas ada 9 (Sembilan) Fakultas: Agama Islam, Ekonomi, Hukum, Teknik, Pertanian, Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Kehutanan dan FIMPA-Kesehatan serta Pariwisata dengan sistem multikampus di Padang, Padang Panjang, Bukittinggi dan dan Payakumbuh. Tahun 2020 menjadi 11 Fakultas dengan tambahan Fisipol dan Saintek.
Sejalan dengan itu perempuan Muhammadiyah yang disebut Aisyiah memiliki Akademi Perawat dan Kebidanan yang kinis sedang beralih status menjadi Politeknik Aisiyah (Polita) serta PGTK dan PGSD/MIN di Padang dan Padang Panjang.
Tentu saja, agaknya tidak terlalu relevan membandingkan satu atau dua lembaga pendidikan seperti Baiturrahmah dan Pesantren HAMKA itu dengan jumlah pendidikan Muhammadiyah yang jumlahnya cukup besar tadi.
Namun, bagaimanapun, itulah contoh konkret bahwa di tengah kebesaran organisasi Muhammadiyah, ada pula orang perorangan dan kelompok terbatas yang berhasil mengkelola lembaga pendidikan secara relatif baik.
Dengan begitu ada uswah atau keteladanan yang tersembunyi atau nyata dari warga Muhammadiyah dalam kiprah amaliahnya yang secara simbolik mungkin dapat dipahami sebagai repleksi ideologis Muhammadiyah dalam hidup pribadi dan kelompok mereka dalam menjalankan dan aplikasi nilai-nilai Islami yang patut dicontoh dan disyukuri. Keikhlasan mereka, agaknya merupakan percikan cita-cita Islam dalam amalan warga Muhammadiyah. ***
Tulisan ini bersumber dari Buku Biografi H Amran Sutan Sidi Sulaiman, oleh Wisran Hadi (2007). Ada beberapa kalimat yang diperbaiki.
Komentar