Paradoks Kepemimpinan dan Wacana Daerah Istimewa Minangkabau

Paradoks Kepemimpinan dan Wacana Daerah Istimewa Minangkabau


• Oleh Shofwan Karim

 

 

Wilayah administrasi Provinsi Sumatera Barat dalam pemerintahan Republik Indonesia, kecuali struktur bawah yang disebut nagari, sama saja dengan 33 Provinsi lain. Akan tetapi secara etnisitas sosio-kultural, warga Sumatera Barat terhadap dirinya maupun pihak lain lebih senang menyebut wilayah ini sebagai Ranah Minangkabau.

 

Di dalam pertemuan warga Minangkabau, kredo kepemimpinan sosial Minangkabau sering diulang-ulang. Mereka menyebut kepemimpinan “tigo tungku tigo sajarangan, tigo tali sapilin” (tiga tungku sejerangan, tiga tali sepilin/TTS). Sebuah aura kepemimpinan sosial yang berdiri di atas wibawa dan kharisma ninik-mamak, alim-ulama dan cerdik pandai.

 

Itulah sebuah abstraksi kepemimpinan yang bersandar kepada  tokoh adat, tokoh agama, serta  kaum cendekiawan. Khusus cendekiawan amat luas cakupannya. Di situ termasuk pemerintah, birokrat, akademisi, para usahawan (pebisnis-mapan), bundo kanduang (kaum wanita), budayawan, wartawan, sastrawan, seniman dan tokoh generasi muda.

 

Pranata ini secara substansial bagaikan “kabinet, plus parlemen sosio-kultural” yang sesungguhnya. Dan institusi ini merupakan kombinasi dari “trias-politika” dalam praktek di Minangkabau kelasik sampai era modern.

 

Di forum itu semua hal-hal yang prinsip dan mendasar dalam mendorong dan menggerakkan  kemajuan masyarakat Minangkabau dimusyawarahkan, diputuskan  dan kemudian dilaksanakan.

 

Negeri (Ranah) Minangkabau, dulunya menjadi “kiblat” pendidikan, keagamaan, adat dan tradisi, asset kepemimpinan,  kecendekiawanan dan kenegarawanan. Di ranah inilah nostalgia dan romantisisme berpadu. Media nasional sering memuji peranan Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Syahrir, Tan Malaka, M Yamin, Mohammad Natsir, HAMKA dan tokoh lain dari Minangkabau sebagai tokoh nasional dan pahlawan  Indonesia.

 

Tentu saja hal itu merupakan kenangan indah kolektif etnis Minangkabau sejak masa berdirinya Sekolah Raja di Bukittinggi tahun 1856 sampai petaka sejarah perang sipil PRRI tahun 1958-1960. Bahkan Elizabeth E. Graves (Yayasan Obor, 2007) menyebut, sampai tahun 1959, penduduk Minangkabau yang hanya jumlahnya 2,5 % dari penduduk Indonesia telah menyumbang 25 % dari nominal jumlah kepemimpinan dan tokoh nasional Idonesia.

 

 

Sampai masa itu, gerak sosio-kultural Minangkabau berjalan  terpadu pada tiga tungku tadi. Mereka berdebat mengasah pikiran di majelis TTS tersebut. Mamang dan pepatah turunannya, muncul, “kayu basilang di dalam tungku di situ api makonyo nyalo dan di situ nasi kok ka masak” (bersilang kayu di dalam tungku, di situ api makanya menyala dan di situ nasi akan menjadi masak)

 

Ungkapan itu masih banyak yang mengulang-ulang. Minangkabau adalah negeri di mana demokrasi bermula dengan musyawarah dan mufakat. “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakek” (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat).

 

Terusannya berbunyi, “kok lah picak boleh dilayangkan, kok lah bulek, bulieh digolekkan” (kalau sudah petak tipis boleh dilayangkan, kalau sudah bulat boleh diligilingkan). Keputusan yang sudah dirumuskan itu dapat dieksekusi dalam tanggungjawab bersama untuk pelaksanannya.

 

Maka tak heran aura klasik tadi yang disebut sebagian orang Miangkabau sebagai kegemilangan masa lalu (the glorious of the past), masih menjadi rasian (mimpi-mimpi). Terutama bagi generasi yang lahir sampai pertengahan abad lalu, antara tahun 1930-1950. Kini mereka berusia 65 – 85 tahun.

 

Oleh generasi berusia senja tadi, menjadi gumam bahkan buah bibir bahwa apa yang menjadi kredo kepemimpinan di Minangkabau, harus terus menerus disegarkan dan diperbarui. Apalagi bila ada kurun masa yang kurang terasa getaran dan sipongang (gaungnya) sistem kepemimpinan sosial-budaya  itu.  

 

Sejak era reformasi sampai sekarang, gaung suara kepemimpinan itu menghadapi problematika bahkan paradoksal. Keadaan yang tengah bertolak-belakang. Sesuatu yang sering disebut oleh generasi lama, dan belum tentu dipahami oleh generasi baru. Boleh jadi oleh generasi baru abstraksi kepemimpinan itu berubah. Bukankah kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, kemakmuran dan keadilan yang semakin jauh itu, sekarang lebih banyak dipengaruhi oleh penguasa yang ditentukan oleh politik, uang, kekayaan,  pengaruh materi dan penguasaan media?

 

Alim ulama, kaum adat,  kaum cendekiawan dan akademisi tinggal menjadi hiasan atau asesori kepemimpinan sosial bahkan ada yang menganggap hanya menjadi penonton. Atau eksistensi mereka hanya ada di dalam status tetapi tidak ada di dalam fungsi dan peranan.

 

Pembahasan masalah sosial-kemasyarakatan dalam kolektivitas  TTS hanya ada di alam formalistik. Kadang-kadang tak jarang hanya melekat di alam khayal. Di dalam implementasi tidak optimal. Lebih jauh, kadang kelihatan keputusan resmi legislatif dan eksekutif di dalam UU dan Perda, tidak pula sukes berjalan. Apalagi hasil musyawarah TTS. Itupun kalau TTS itu masih ada yang melakukan musyawarah.

 

Misalnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Maksiat. DPRD hasil pemilu reformasi 1999 menginisiasi Perda ini. Pada waktu itu eksponen TTS secara peorangan diundang untuk dengar pendapat. Meskipun forum TTS mempunyai suara yang berbeda-beda, namun karena resmi sudah diundang, maka oleh DPRD dianggap setuju karena telah memberikan aspirasinya.  Perda itu terdiri atas 7 Bab dan 24 Pasal, berikut 2 halaman penjelasan.

 

Intinya yang disebut maksiat adalah setiap tindakan yang merusak sendi-sendi kehidupan sosial kemasyarakatan dan melanggar norma-norma agama dan adat, baik yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan atau belum. Di antaranya perzinahan, perjudian, minuman keras, narkotika dan piskotrapika serta zat adiktif. Juga penerbitan dan penyiaran kata dan gambar yang merangsang untuk berbuat maksiat seperti cerita, pornografi dan porno-aksi.

 

Perda ini tidak memberikan sanksi yang jelas kepada pelanggar. Pada Bab sebelum penutup, Bab VI pasal 22  ayat 1 dan 2 berbunyi: (1) pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud (didalam bab-bab sebelumnya) dalam Perda ini dapat diancam dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pejabat berwenang yang lalai dalam menindak lanjuti laporan anggota masyarakat tentang tindakan maksiat, dapat dikenai sanksi administratif sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

 

Semua itu, setelah berjalan 14 tahun, belum ada evaluasi bagaimana penerapannya. Sekarang Perda itu tidak pernah dibicarakan dan juga tidak pernah dicabut. Kalaupun ada tindakan beberapa polisi pamong praja pada beberapa kota dan kabupaten melakukan razia terhadap tindak-maksiat, hampir tidak pernah merujuk kepada Perda Provinsi itu.

 

 

Keadaan itu mencuat di dalam “ratok” (ratap-tangis) orang rantau di dalam media-pers maupun media sosial. Soal pemurtadan, kemiskinan, kemaksiatan dan tertinggalnya pembangunan di Ranah Minangkabau dibandingkan provinsi tetangga adalah kealpaan kepemimpinan. Mereka menganggap bahwa terjadinya pemurtadan dari Islam ke agama lain, apa yang mereka sebut sebagai Kristenisasi terbuka dan terselubung, sebagai kelalaian kepemimpinan di Minangkabau.

 

Begitu pula angka kemiskinan yang semakin meninggi, kejahatan dan kemaksiatan tidak berkurang. Agama Islam yang diagung-agungkan oleh etnis Minangkabau dianggap tidak tegak sesuai dengan harapan lama. Oleh karena itu muncul kegelisahan dan kegalauan para perantau.

 

Sebagian para perantau kreatif menggagas ide. Untuk menjawab persoalan di Minangkabau, solusinya adalah Daerah Istimewa Minangkabau (DIM).  Tanpa DIM kata mereka, maka Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) hanya angan-angan. Gagasan itu menggelora secara perorangan dan kolektif di kalangan perantau. Akan tetapi terasa kurang ada respon dari warga Ranah Minangkabau yang tinggal di seantero nagari atau kampungnya.

 

Begitu pula ada nostalgia kepemimpinan masa lalu. Para perantau yang juga terdiri atas ninik-mamak, alim-ulama dan cerdik pandai, selalu bermusyawarah  tentang kampung halamannya.  Hasilnya tentu ingin diterapkan. Akan tetapi setelah mereka kembali ke perantauan gagasan tadi tinggal ramai di internet, media on-line dan media sosial.

 

Sebaliknya, sejak beberapa dekade belakangan keadaan itu berubah. Generasi muda yang menjadi pemimpin formal di Sumbar, mengalami pergeseran kolektifitas emosi kultur Minangkabaunya. Terjadi paradoks atau kontradiksi. Terutama di dalam konsep diri tentang kepemimpinan.

 

Mereka lebih suka turun langsung ke nagari dan kampung dibandingkan beranjangsana ke tokoh-tokoh yang ada di rantau. Ada yang suka beranjang sana ke tokoh rantau, tetapi tidak mengakar di nagari dan kampungnya. Padahal dengan caranya masing-masing, perantau berjasa membangun kampung dan nagari. Tetapi sebagian para perantau merasa penghargaan tidak sepadan mereka terima.

 

Generasi baru Minangkabau tahu dengan filsafat kepemimpinan TTS klasik yang telah disebut terdahulu. Akan tetapi saat ini tidak nyambung dengan tokoh sosial kemasyarakatan masa lalu. Mereka seakan-akan melakukan reformasi dan rekonstruksi. Perubahan dan menata ulang dengan versinya sendiri. Kalau pun ada ninik-mamak, alim ulama, cerdik-pandai diikutkan di dalam musyawarah baik nagari maupun tingkat di atasnya sampai ke tingkat provinsi, terasa itu sebagai pelengkap asoseri alias perhiasan demokrasi saja. Bahwa apa yang diinginkan TTS tadi mereka catat, tetapi di dalam pelaksanaannya, agak jauh “panggang dari api” alias tidak ada realisasinya.

 

Inilah yang menjadi tayangan nyata hari ini, tengah terjadi paradoks kepemimpinan sosial di Minangkabau. Sebuah situasi, yang entah kapan akan berakhir. Ataukah memang semua sudah berubah? Yang abadi adalah perubahan. Allah Yang Maha Tahu. ***

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengabdian Warga Muhammadiyah: Rekonstruksi Kiprah H. Amran dalam Pendidikan

Narasi Sahabat Alumni 1972: Dr. Dra. Hj. Nurhayati Zain, B.A., M.A