MEMAHAMI RADIKALISME, SALAFI, TRANSNASIONAL DAN PLATFORM PARPOL ISLAM MEMBINGKAI UKH



MEMAHAMI RADIKALISME, SALAFI, TRANSNASIONAL DAN PLATFORM PARPOL ISLAM MEMBINGKAI UKHUWAH [1]

OLEH SHOFWAN KARIM[2]


I. Mukaddimah. Kasus paling akhir di dalam bulan November 2017 pembakaran kantor Polsek Kecamatan Sungai Rumbai, Dharmasraya. "Yang jelas, indikasi sementara, serangan dari teroris, karena ada kata-kata thogut dan Allahu Akbar," kata Kapolda Sumatera Barat, Irjen Polisi Fakhrizal kepada para wartawan di Padang, Minggu (12/11).

Lalu, penembakan yang ditengarai oleh ISIS di Masjid Sinai Utara.  Otoritas Mesir tengah menyelidiki keterlibatan militan-militan ISIS dalam serangan teror bom dan penembakan di Masjid Al-Rawdah, Mesir yang telah menewaskan 311 orang. Sebuah masjid di kota Bir-al-Abed, di Sinai, Mesir utara, diserang sekelompok orang bersenjata pada Jumat (24/11/2017).
(https://www.nytimes.com/2017/12/01/world/middleeast/egypt-sinai-mosque-attack.html).

Radikalisme menjadi trending topic sejak dua  dekade belakangan. Suku kata ini didahului oleh trending terrorism yang dinisbatkan dulunya kepada al-Qaedah[3]. Terma Barat “war on terror” (WOT) perang melawan teror, juga dikenal sebagai perang global teroris (GWOT-Global War on Terrorism),[4] . Hal itu mengacu kepada kampanye militer internasional yang dimulai setelah serangan 11 September 2001 teroris di Amerika Serikat pasca hancurnya Gedung WTC di New York.[5]

Bersama wafatnya Osama Ben Laden, trending beralih ke radikalisme. Ketika ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang dianggap pecahan dari gerakan al-Qaedah menyimpang dari khittahnya, berdiri sendiri sebagai garis perjuangan mereka yang baru.

Sekarang ISIS[6] menjadi momok bukan saja di Timur Tengah tetapi ke seluruh dunia. Momok itu berkelindan dengan mata rantai berikutnya dengan dideklarasikannya ISIL menjadi Islamic State (IS) kekhalifahan Islam global. Mereka berambisi mengembangkannya ke seluruh penjuru bumi. Dan Indonesia, sebagai mayoritas warga berpenduduk Muslim dengan segala kekuatan dan kerentanannya diminta oleh berbagai kalangan untuk  waspada. Lebih dari itu, kini ada yang mengatakan perlu diberikan serum penangkal,  terutama di kalangan generasi muda.

Wacana berikut merupakan deskripsi dan analisis terbatas. Pemahaman semantik kata radikal dalam filsafat pemikiran dan radikal dalam makna aktual gerakan. Apa kaitan radikalisme, khilafah Islamiyah dan beberapa konseptualisasi salafi-wahabi merupakaan deskripsi dan analisis berikutnya. Kemudian apa hubungannya dengan platform atau prinsip dasar dan program yang ditawarkan Parpol Islam dalam hal ini PPP dan PKS serta bagaimana peranannya di dalam menghindari radikalisme dalam aura bingkai ukhuwah dan kebangsaan, merupakan bagian akhir dari diskursus ini.

 
Sumber Internet, 13.12.2017 (Dok)

II. Radikal Pemikiran dan Gerakan. Secara semantik,[7] kata adjective radic (akar) atau radikal dapat diartikan berfikir secara mendasar sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai kepada hal yang menjadi prinsip utama urat tunggang dari pohon persoalan. Sikap itu diformulasikan kepada perubahan yang drastik dan revolusioner. Sikap yang amat keras menuntut perubahan. Terutama undang-undang dan pemerintahan. Radikalisme juga berarti maju tanpa peduli alam sekitar dalam berpikir dan bertindak.

Di dalam wacana umum, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), radikal artinya secara mendasar, sampai kepada hal-hal yang prinsip. Perubahan yang radikal bermakna membongkar sesuatu yang mapan sampai ke urat tunggang dan akar-akarnya lalu menanam hal-hal yang baru, yang bahkan bertentangan dengan yang lama. Bila telah menyangkut aksi atau tindakan maka makna sinonimnya adalah ekstrem, militant, melampaui batas atau melewati garis kesabaran dan toleransi, revolusioner, lebih dari itu juga disebut subversive .

Ada kebiasaan para analis memasangkan, sebelum kata radikalisme itu dengan fundamentalisme. Sehingga sering ditarik dalam satu nafas sebagai fundamentalisme-radikalisme.[8] Fundamentalisme adalah gerakan dalam agama Protestan Amerika yang menekankan kebenaran Bible bukan hanya dalam masalah kepercayaan dan moral, tetapi juga sebagai catatan sejarah tertulis dan kenabian; misalnya tentang kejadian, kelahiran Kristus dari ibu yang perawan dan sebagainya (Rifyal Ka’bah, 1984).[9]

Dalam kalimat lain, fundamentalisme adalah memelihara interpretasi literal tradisi kepercayaan dalam agama Kristen yang berlawanan dengan ajaran yang lebih moderen (AS Hornby, 1987). [10] Akan tetapi, hal yang terjadi pada Protestan itu terjadi juga pada Katholik, juga Yahudi, Hindu, Budha dan bahkan terdapat hal yang sama pada penganut ideologi ultra-kiri, ultra-kanan, ultra nasionalis seperti Nazisme baru yang marak pada beberapa negara di Eropa. Fenomena itu terjadi sejak 1970-an bahkan sampai sekarang di hampir seantero dunia, lintas kepercayaan dan agama. Kasus Rohingya, Boko Haram dan Charlie Hebdo[11], sebagai yang paling akhir.

Oleh karena media dan diskursus dunia dikuasai Barat, maka wacana fundamentalisme yang menekankan hal-hal mendasar serta berkaitan dengan akar masalah sangat dalam, maka fundamentalisme-radikalisme, sudah salah kaprah dilekatkan oleh mereka kepada pemikiran dan gerakan yang berlabel Islam seperti saat ini.

Tentu saja kalau hanya bersifat ucapan dan paham atau bahkan tulisan maka hal itu dapat disebut sebagai fundamentalisme-radikalisme pemikiran. Pemikiran yang bertolak dari segala sesuatu yang paling mendasar dan original (murni), asasi atau asli. Untuk yang terakhir ini, dapat disebut sebagai pemurnian atau purifikasi pemikiran. Dari sinilah kaitannya, orang senang mengatakan radikalisme juga kadang-kadang dikaitkan konsepsi salafi. Oleh karena kaum salafi, menekankan hal-hal yang berhubungan dengan urat tunggang dalam kehidupan agama dan sosial yang mendasarkan kehidupan atas kemurnian dan kesucian akidah.

Maka kaum salafi merupakan golongan yang sangat menjaga hal-hal yang prinsipil dan paling dalam terhunjam di dalam rekayasa bangunan kehidupan keagamaan, social-kemasyarakatan, paham kenegaraan dan pemerintahan . Dengan begitu kaum salafi menjunjung tinggi hal-hal prinsip itu, bahkan menjadi ideologi yang kokoh.

Apabila hal itu mengkristal menghunjam ke dalam aliran darah dan urat nadi kehidupan, perjuangan dan gerakan, maka menjadilah ia sebagai paham salaf yang disebut salafisme. Salafisme mengambil namanya dari salaf. Istilah yang berarti “pendahulu”, “nenek moyang” atau suatu identifikasi kepada generasi awal Islam. Kaum salaf   menjadi “role model” sebagai lambang praktik Islam yang super jenuin.

Sebuah hadits Nabi Muhamad Rasulullah saw, mengatakan “orang-orang dari generasi saya sendiri adalah yang terbaik, begitu pula para sahabat dan berikutnya orang-orang yang datang setelah mereka, dan kemudian orang-orang dari generasi berikutnya, “.

Adalah sebuah seruan yang amat mulia bagi umat Islam untuk mengikuti contoh mereka tiga generasi pertama, yang dikenal secara kolektif sebagai salaf atau “pendahulu yang saleh” (al-salaf al-Saleh). Mereka yang dimaksud dimulai dari  Nabi Muhammad Rasulullah saw sendiri, para sahabat (shahabat), yang pengikut (tabi’in) dan pengikut dari pengikut (tabi ‘al-tabi’in).

Prinsip salafi itu, dihormati oleh kalangan ortodok [12] Islam dan oleh para teolog Sunni sejak generasi Muslim kelima atau sebelumnya yang telah menggunakan apa yang mereka lakukan pada masa awal Islam tadi menjadi contoh bagi mereka untuk memahami teks-teks dan ajaran Islam. Kadang-kadang juga untuk membedakan keyakinan kaum muslimin pertama dari variasi berikutnya di dalam keyakinan dan penggunaan metodologi untuk menentang bid’ah (mengada-ada tanpa dasar) agama dan sebaliknya, untuk mempertahankan pandangan dan praktek tertentu.

Kaum Salafi percaya bahwa Al-Qur’an, Hadits dan konsensus (ijma) atau kesepakatan yang disetujui para ulama bersama dengan pemahaman salaf merupakan pandu utama jalan kehidupan. Tidak perlu yang lain, dan cukup itu saja bagi setiap warga dan masyarakat Muslim.

Di dalam konsepsi dakwah, Salafi adalah metodologi dan bukan mazhab fikih (yurisprudensi). Kadang-kadang hal itu dapat bercampur-baur dan mungkin pula terjadi salah paham. Dengan demikian secara metodologis, Salafi dapat berasal dari pengikut Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Hanafi. Semuanya digolongkan kepada pemikiran Fikih Sunni.

Untuk memahami dengan baik tentang Al-Qur’an atau Hadits, mereka mendukung keterlibatan ulama untuk berijtihad. Tentu saja syarat berijtihad yang terpenuhi. Ini merupakan cara untuk menghindari kebekuan (jumud) dan taklid buta. Khusus untuk akidah, keyakinan dan pandangan teologis, pengikut salafi semata-mata mengikuti apa yang dipahami sunnah shahihah tanpa terbawa kepada dialektika ilmu kalam dan semua bentuk filsafat yang dianggap sepekulatif.

Ajaran salafi menganggap “tawassul” sebagai syirik, termasuk bertawassul dengan tokoh agama dan para ulama. Begitu pula memuja kuburan termasuk memuja kuburan Nabi dan orang-orang yang dianggap suci. Mengunakan azimat (jimat) apalagi batu akik yang punya kekuatan magis adalah syirik. Mempertahankan praktik-praktik itu semua dianggap bid’ah (mengada-ada atau inovasi sesat). Semua itu termasuk politeisme atau syirik. Tidak satupun dari praktik itu yang dibolehkan di kalangan salafi.

Dari sinilah kalangan lain menganggap apa yang menjadi ajaran kaum al-Muwahhidun (kalangan penganut tauhid) yang dipelopori Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787), kini ada anggapan sebagai salafi modern, hidup kembali. Padahal, sebagai penganut akidah murni Islam, apa yang menjadi doktrin al-Muwahhidun itu merupakan pendapat jumhur ulama. Harun Nasution (1921-1997) mensitir Muhammad Ibnu Abdul Wahab memusatkan perhatiannya kepada hal akidah murni itu. [13]

Lebih dari itu yang menjadi ideologi mereka bahwa mereka percaya bahwa gradasi dan kualifikasi Islam menjadi turun, setelah generasi awal karena inovasi-sesat agama golongan tertentu dan meninggalkan apa yang mereka anggap sebagai ajaran Islam yang murni. Mereka percaya bahwa kebangkitan Islam hanya akan dapat sukses kalau kembali kepada cara-cara dan peradaban generasi awal umat Islam dan membersihkan semuanya dari pengaruh asing. Lebih dari itu kaum salafi menolak yang disebut konsep teologi dan ilmu kalam apalagi pemikiran filsafat spekulatif.

III. Salafi Modern dan Kontemporer. Kaum Salafi menganggap Muhammad ibn Abd al-Wahhab sebagai sosok pertama di era modern yang mendorong untuk kembali ke praktik keagamaan dari salaf al-shalih. Ia memulai gerakan revivalis (menghidupkan kembali) Islam yang murni di daerah pedalaman Jazirah Arabia pada abad ke-18 yang jarang penduduknya di wilayah Najd (Nejed).

Belakangan bersama-sama dengan Ibnu Saud memurnikan pemahaman Islam dan melakukan gerakan kembali kepada doktrin salafi itu. Dari sejarah yang panjang sekarang menjadi Kerajaan Saudi Arabia. Kolaborasi antara Muhammad Ibnu Abdul Wahab dengan Ibnu Saud itu, oleh beberapa analis disebut sebagai salafi-plus (salafi-politik)

Karya-karya Muhammad Ibnu Abdul Wahab, terutama kitab at-Tauhid, masih banyak dibaca oleh kaum Salafi di seluruh dunia. Bahkan saat ini dan mayoritas ulama Salafi masih mengutipnya. Tidak jarang oleh kalangan lain ajaran asli kaum yang menamakan diri al-Muwahhidun tadi sebagai ajaran Wahabi. Dinisbatkan kepada namanya. Dan ini boleh dianggap sebagai berfikir cara orientalisme (ahli ketimuran-ke-Islaman) kalangan Barat yang bersifat pejorative (merendahkan).

Di antara pengamat, berdasarkan gerakan dan pemikiran mutakhir melihat beberapa aliran salafisme menjadi tiga tren: puritan (murni); orientasi politik dan para penggerak militant yang ekstrim-radikalis.

Untuk tren terakhir, mereka menyebut kaum jihadis. [14] Padahal kata jihad di sini dipahami mereka   bertentangan dengan makna semantik yang dipahami umum oleh umat Islam sebagai berusaha dan bekerja keras di jalan Allah, menuntut ilmu dengan, atau dan sungguh-sungguh bekerja. Kata jihadis di sini dipahami mereka sebagai garis keras bahkan sering disamakan dengan terroris.

Tren pertama, puritan adalah gerakan pemikiran dan usaha yang berfokus pada pendidikan dan pekerjaan dakwah untuk rekonstruksi tauhid. Ini dianggap salafi puritan non-kekerasan dalam tabligh , dakwah serta penyiaran memperkuat Islam. Selalu melaksanakan pemurnian kepercayaan dan praktik keagamaan. Tampaknya mereka mengabaikan politik dan kekuasaan dalam menyampaikan misi dakwahnya.

Sementara tren kedua, politik memfokuskan kepada reformasi politik dan membangun kembali khilafah melalui sarana evolusi, tapi bukan kekerasan. Ini disebut kadang-kadang sebagai aktivisme-salafis. Selanjutnya tren ketiga, sebenarnya untuk tujuan politik yang sama seperti kelompok kedua, akan tetapi terlibat dalam tindakan kekerasan, revolusioner yang oleh pihak lain disebut para radikalis-fisik. Mereka ini yang disebut sebagai kaum jihadis tadi, sebagai satu istilah pejorative atau merendahkan. Padahal kata jihad adalah untuk berjuang keras demi kebaikan.

IV. Khilafah Islamiyah, ISIS sebagai Tren ke-3. Apa yang disebut sebagai “Jihadis salafi” adalah tren ke-3 sebagai wacana yang paling kontroversial, penuh ajang debat, pro-kontra. Sebagian mengkategorikannya sebagai aktualisasi dari ideologi agama (Assaf Moghdam, 2008).[15]

Di dalam media on-line serta situs-situs dunia-maya, akan kesulitan dan susah membagi mana kategori yang benar-benar dari kalangan “Jihadis Salafi” itu yang murni, mana pula yang menangguk di air keruh atau berpura-pura, sehingga membuat buncah jagat dunia global.

“Salafi para tokoh” adalah istilah yang diciptakan oleh Gilles Kepel[16] untuk menggambarkan kelompok-kelompok yang mengklaim dirinya sebagai salafi yang mulai[17]

Definisi lain dari jihad Salafi, yang ditawarkan oleh Mohammed M. Hafez, adalah “bentuk ekstrim Sunni Islamisme yang menolak pemerintahan demokrasi dan pemerintahan Syiah.” Hafez membedakan mereka dari apolitis dan konservatif ulama Salafi, seperti Muhammad Nasiruddin al-Albani, Muhammad ibn al Utsaimin, Abd al-Aziz ibn Abd Allah ibn Baaz dan Abdul Azeez ibn Abdullah-Aal ash-Shaikh. Selain itu ada juga dari gerakan Sahwa terkait dengan Salman al-Ouda atau Safar Al-Hawali. [18]

Pada tahun 2014 ada analisis oleh Darion Rhodes, dari Kaukasus Emirat mengetengahkan  dua kategori. Kelompok ketaatan tauhid dan penolakan dari syirik, taqlid, ijtihad, dan bid’ah, sementara yang lain percaya jihad yang satu-satunya cara untuk memajukan kehendak Allah di bumi.

Dengan begitu tampaknya, meski ada beberapa kesamaan, tetapi banyak kelompok yang memproklamirkan diri di era kontemporer ini yang berbeda pemikiran Salafi mereka. Antara yang satu dengan yang lain sering sangat tidak setuju atas beberapa hal dan menyangkal karakter Islam pihak yang lain.

V. Saudi Arabia dan Indonesia: Salafi yang Beda. Lebih lanjut ada pandangan yang berbeda tentang Wahabisme dan Salafi. Di antaranya mengatakan bahwa setiap Wahabisme adalah Salafi tetapi belum tentu setiap Salafi adalah Wahabisme. Wahabisme dianggap salafi ideologis. Sementara ada salafi non-ideologis.

Yang non-idelogis, semata-mata mempromosikan ketauhidan, anti syirik, anti bid’ah dan mempromosikan Islam melalui pendidikan, memberikan biaya hidup bagi para dosen dalam negeri dan di luar Saudi Arabia. Mereka yang mendukung konsep ini, mempromosikan salafisme di seluruh dunia.

Orang kaya Saudi yang disebut juga petro-Islam, membiayai pembangunan kampus, madrasah, sekolah, masjid, pengadaan buku-buku, memberikan beasiswa bagi angkatan muda negara mayoritas muslim ke Timur–Tengah. Semua itu tidak bisa disebut sebagai salafi-jihadi seperti yang diteorikan oleh para akademisi dan penulis Barat tadi.

Oleh karena itu banyak sarjana dan kritikus membedakan antara bentuk lama Salafisme-Saudi yang disebut Wahhabisme dan Salafisme baru di Arab Saudi. Stéphane Lacroix,[19] dan beberapa dosen di Sciences Po di Paris, juga menegaskan perbedaan antara keduanya: “Berbeda dengan Wahabisme, Salafisme mengacu untuk semua keteguhan kepada prinsip Islam awal tanpa mengiringinya dengan tindakan kekerasan.

Penyebaran paham Salafisme-Wahabi dan Salafi-Murni, di Indonesia pada beberapa waktu belakangan menjadi kajian yang menarik. Ahmad Bunyan Wahib di dalam “Being Pious Among Indonesian SalafisAl-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies - ISSN: 0126-012X (p); 2356-0912 (e) Vol. 55, no. 1 (2017), pp.1-26, doi: 10.14421/ajis.2017.551.1-26, mengatakan bahwa salafi itu pada awalnya adalah pengamalan Islam yang otentik atau murni.  Islam yang hanya berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
       “Salafi is known as a group of Muslims who propagate Islamic Puritanism for them. The implementation of Islamic doctrines in their pristine form is a must to maintain the holiness of Islam. Under the framework of puritanization, religious activities should be based on al- Qur’an and ensure the Sunnah as two Islamic main sources in order to purity Islamic doctrines deviations and invalid religious innovation (bid’a). The purification is aimed at separating Islam from all un-Islamic facets, and this is needed to become pious Muslims”.
          Menurut Wahib, mengutip Hamka, di dalam Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (Umminda, 1982), Islam puritan itu di Indonesia mulai awal abad ke-19 yang kita sebut sebagai pergolakan kaum ulama di Minangkabau atau Perang Paderi. Wahib mengatakan,

           “The initial phase of the development of Islamic Puritanism in Indonesia can be traced back to the Dutch colonial period in nineteenth century when some Muslims from Minangkabau, West Sumatra, propagated ideas similar to that of Islamic Puritanism after returning from the pilgrimage to Mecca, well known as Padri Movement. This is considered as the early period of Islamic Puritanism in Indonesia. However, the Padri movement has been defeated by the Dutch Colonial.”
Kekalahan Paderi oleh Belanda membuat gerakan purifikasi Islam meredup sampai awal abad ke-20. Lahirnya Muhammadyah (1912), al-Irsyad al-Islamiyah (1914), Persatuan Islam (Persis, 1923) kembali menjadikan purifikasi Islam sebagai dasar gerakan yang dikombinasikan dengan modernisme Islam atau  Islam bekemajuan. Kemudian lahirnya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia 1967 yang dianggap dekat dengan Saudi Arabia dan berdirinya LIPIA yang memang insitiatif  dari pihak Arab Saudi.
           Namun di era kontemporer ini gerakan salafi di Indonesia menjadi lebih kentara dalam tiga hal. Pertama, tetap memelihara purifikasi Islam dalam hal akidah dan ibadah tetapi, kedua,  didalam tatanan budaya hidup sehari-hari ingin seperti kebiasan orang Arab. Ketiga, menolak budaya lokal dan menolak budaya dan pikiran barat. Oleh karena itu di dalam cara berpakaian baik pria maupun  wanita, bergaul dan dalam cara bertegur sapa kaum salafi Indonesia mempunyai tagar, “murnikan akidah, sebarkan sunnah”. Di antaranya berpakaian komprang kaki celana  di atas tumit atau separoh betis, berjenggot, berbaju gamis dan peci putih bagi pria . Dengan jilbab amat lebar, memakai cadar atau niqab bagi wanita. Di dalam percakapan sehari-hari lebih senang mengatakan “antum” dan “ana” dari pada menyebut kamu atau saya. Begitu pula ucapan lainnya yang disenangi dalam istilah atau Bahasa Arab.
           Setakat itu, tidak ada masalah yang memperoalkan salafi di Indonesia. Persoalan buncah ketika beberapa waktu lalu dikaitkan dengan gerakan dari manca Negara yang lebih dinamis. Antara lain dikaitkan dengan istilah Islam Trans-Nasional. Ada fenomena (gejala) semakin mengentalnya pemahaman ke-Islaman yang dekat ke gejala tersebut, di samping tentu saja ada yang semakin menjauh.

VI. Islam Transnasional. Terma Islam Transnasional, secara umum mengacu kepada gerakan beberapa harakah (gerakan) Islam lintas negara bahkan lintas benua. Beberapa organisasi besar Islam di dunia, boleh disebut sebagai gerakan Islam Trans-Nasional itu.
Sebutlah seperti gerakan dan Jamaah Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir Internasioal/Indonesia (HTI)[20], Ahmadiyah, Syiah, Jamaah Tabligh, Jamaah Islamiyah, dan Majelis Mujahidin Islam (MMI). Tentu dengan segala variasi konsepsi teologis, ideologis dan konsep perjuangannya. Baik yang disebut hard-liner (garis keras) maupun soft-liner (garis lunak). Itu semua amat tergantung sejarah latar belakang lahir, perkembangan, tokoh, dan wilayah serta kompleksitas persoalan yang masing-masing mereka hadapi.

Selain Syiah[21] dan Ahmadiyah[22], kalau dilihat dari corak pemikiran teologi dan ibadah serta fikih mereka, dapat dikategorikan sebagai kaum ahlu sunnah wal jamaah atau sunni. Dalam kasus Indonesia, ibarat duri di dalam daging, antara kelompok dan golongan internal dan antar ummat tidak selalu harmonis. Bahkan hubungannya fluktuatif.

Secara internal sealiran, misalnya sesama sunni, alhamdulillah antara mainstream (arus utama Islam) di Indonesia cukup akur. Misalnya antara Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Tarbiyah, Alkhairiyah, Alwashliyah, Nahdhatul Wathan, al-Irsyad, Persis, PUI cukup kondusif dan dinamis[23]. Akan tetapi antara mainstream[24] yang moderat itu dengan kelompok Islam lain tadi, kelihatannya tidak terlalu sinkron-harmonis. Lebih-lebih dengan Ahmadiyah dan Syiah. Sementara kelompok main-stream dengan HTI, MMI, FPI tidak terlalu hangat.

Terhadap organisasi masyarakat madani ormas Islam tersebut, perlu ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan hubungan yang mesra antara sesamanya. Akan tetapi ada faktor lain, yang kurang disadari bahwa peranan Partai Politik (Parpol) sebagai infra dan supra struktur politik nasional cukup menentukan untuk meningkatkan harkat dan martabat organisasi ummat tadi.

Apalagi Parpol, di dalam hal ini Parpol Islam secara langsung atau tidak, agaknya dapat memberikan pengaruh positisif yang signifikan terhadap kehidupan keumatan dan kebangsaan dalam bingkai ukhuwah untuk ke-Indonesiaan dan ke-Islaman yang rahmat li al-alamin.

Secara tersirat diskursus penyatuan payung Parpol menurut sejarah lahir dan berkembangnya sampai hari ini masih ada di dalam back-mind (pikiran-tersirat) dan hidup di kalangan tertentu. Terutama pada kalangan ideolog muslim senior. Di Amerika, dua partai utama Republik dan Demokrat, masih layak menjadi cermin. Betapa negara terbesar berpenduduk terbesar ketiga setelah Tiongkok dan India itu cukup dengan dua partai dominan itu.

Bayangkan dengan Indonesia dengan populasi ke-3 terbesar di dunia setelah Amerika, mempunyai 12 Partai mendapat kursi dan beberapa kekuatan mayoritas Parlemen. Jumlah Partai itu terasa kurang menguntungkan kepada laju pertumbuhan dan perkembangan kesejahteran rakyat dan kemajuan bangsa.

Rendahnya kinerja bebeberapa bahkan sementara pengamat mengatakan sebagian besar anggota Kabinet Jokowi-JK, langsung atau tidak karena terlalu banyaknya partai. Dalilnya, sebagian karena kepentingan Partai tidak dapat ditolak oleh Jokowi-JK, sehingga merit sistem dan cabinet kerja yang bertumpu semata-mata kompetensi, tidak banyak bisa diaplikasikan. Oleh karena tidak semua pakar partai yang layak masuk ke Kabinet. Atau bahasa vulgar-nya, orang Partai yang duduk di Kabinet tak “pas”.

Belajar dari Orde Baru yang banyak kegagalannya dan dianggap ademokratis, namun di dalam penataan Partai Politik, Pengkaderan Partai serta etika dan budaya politik, agaknya masih layak mendapat apresiasi. Terutama dengan penyederhanaan partai (fusi) dari 10 menjadi 3 kekuatan: Nasionalis-Sekuler (PDI); Agamis-Nasionalis (PPP); dan Kekaryaan-Fungsional (Golkar).

Zaman reformasi, pada struktur politik, secara gradual terjadi penurunan dari lebih 40 Parpol pada awalnya (1998-2004) kini tinggal 12 Parpol. Dan sebetulnya, tanpa disadari dengan tidak mempedomani Platform Partai secara murni, mereka sudah mengerucut di Parlemen menjadi 2 kekuatan: Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisasi Merah Putih (KMP).

Pengerucutan itu kelihatannya murni karena kekuasaan, suka dan tidak suka. Bercampurlah di situ antara partai yang platformnya Pancasila murni, Pancasila plus, antara sekuler dan agamis atau bahasa moderatnya antara partai nasionalis-agama dan agama-masionalis.

Beberapa waktu lalu bahkan secara di bawah sadar, sampai sekarang masih terasa ada perpecahan pada beberapa partai. Apakah itu karena perbedaan platform-partai? Secara kasat mata, jawabannya, tidak. Kelihatannya hanya soal kekuasaan semata. Di dalam memillih koalisasi juga tidak karena platform. Kalau platform Pancasila-plus agama, tentunya PPP harus satu kapal dengan PKB, PAN, PKS dan PBB. Atau sebaliknya Partai platform Pancasila-plus sekuler, mestinya PDIP, Golkar, Demokrat, Hanura, Nasdem , Grindra dan PKPI dalam satu kapal lainnya.

VII. Peranan Parpol Islam. Di tengah keadaan itu apa yang bisa  diharapkan dari Parpol Islam untuk mendidik rakyat dalam berpolitik. Khusus untuk tidak terjebak ke dalam gerakan radikalisme dan Islam transnasional. Mari kita lihat Platform ideologis beberapa Parpol Islam, di antaranya PPP dan PKS. Yang satu dianggap sebagai Parpol Islam hasil fusi berbagai partai Islam yang dideklaraasikan 5 Januari 1973, [25] gabungan aspirasi modernis dan tradisional serta moderat dan yang kedua murni produk reformasi yang keras-ideologis.

Yang satu kumpulan sub-kultur Islam modern dan tradisional. Sementara yang kedua muncul dari gerakan usrah tarbiyah jamaah (pendidikan berkelompok), halaqah-liqa’, pengajian rohani   (rohis) aktivis kampus, dan mereka yang datang dari anak-ank muda alumni pendidikan tinggi Timur Tengah dan dari Barat yang progrresif. Partai yang mulanya bernama Partai Keadilan (20 Juli 1998) kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera[26] partai segar anak muda yang terinspirasi oleh gerakan transnasional seperti Ikhwanul Muslimin.[27] Beberapa keterangan belakangan dari Anis Mata, Ketua Umum atau Presiden PKS sekarang membantah bahwa PKS terkait Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Islam transnasional. [28]

Kembali ke PPP, partai ini boleh dikatakan Partai Islam garis tengah dan moderat. Sebagai yang termaktub di dalam Khittah Perjuangannya di dalam menjalankan ideologi politik, dilakukan secara moderat dengan prinsip ukhuwah, ta’awun dan tasamuah :

              PPP menyadari bahwa kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam pikiran dan paham keagamaan merupakan rahmat bagi umat yang harus diterima sebagai pelangi dinamika untuk mencapai kebenaran hakiki. Sebab sikap menghormati berbagai perbedaan pikiran dan pandangan merupakan wasilah bagi terbentuknya kehidupan kolektif yang dilandasi semangat persaudaraan (ukhuwah), tolong menolong (ta’awun), dan   (tasamuh).”            
                 Islam sebagai ideologi dimaksudkan bahwa seluruh pemikiran, sikap dan kebijakan Partai dan kader-kadernya harus bersumber dari ajaran Islam. Ideologi adalah sekumpulan nilai yang dihubungkan secara sistemik yang menjadi dasar sebuah tindakan. Ideologi adalah penuntun, pedoman dan arah untuk mencapai tujuan politik. Untuk itu perlu terus dilakukan penanaman dan internalisasi nilai-nilai ideologi kepada semua kader dan komponen partai yang hakikatnya merupakan aparat ideologi partai (ideological party aparatus) untuk mencapai tujuan dan cita-cita kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan visi dan  misi PPP. “ [29]

Bila kita sigi PKS, maka dalam bahasa yang lain ada tujuan dan maksud ideal yang dimiliki. Hal itu tersurat di dalam visi dan misinya. Visi Indonesia yang dicita-citakan PKS adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat.

Masyarakat Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong-royong menjaga kedaulatan Negara. Pengertian genuin dari masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan konteks masyarakat Indonesia di masa kini yang merealisasikan Ukhuwwah Islamiyyah (ikatan keislaman), Ukhuwwah Wathaniyyah (ikatan kebangsaan) dan Ukhuwwah Basyariyyah (ikatan kemanusiaan), dalam bingkai NKRI. [30]

Tentu saja beberapa partai politik Islam seperti PKB dan PBB tidak akan jauh berberbeda dengan Platform PPP tadi. Namun di dalam kenyataannya, perjalanan partai ini tidak semulus apa yang dibayangkan, meski semua merujuk kepada nash yang sama, seperti yang sering dikutip Quran, al-Hujurat, 49:10.


“ Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”

Dari platform partai-partai Islam tadi, kelihatan bahwa paling tidak di dalam rangka dinamika politik nasional Islam dan kebangsaan dalam bingkai ukhuwah Islamiyah, harus dilakukan upaya strategis dan konkret secara internal sesama pendukung, anggota, kader dan pemimpin masing-masing. Lalu secara simultan terhadap umat Islam dan bangsa secara keseluruhan. Parpol diharapkan menjakankan agenda aksi yang lebih signifikan pula.

Secara internal, seyogyanya Parpol menjalankan program berpedoman sepenuhnya kepada platform. Terlebih dulu apa yang menjadi sejarah, visi dan misi, ideologi, pengkaderan dan pembinaan anggota serta artikulasi alokasi dan distribusi politik serta fungsi dan peranannya sebagai infra dan supra struktur politik nasional, mesti ditanamkan kepada warga partai masing-masing.

Upaya gesekan internal untuk menghindari dualisme kepemimpinan, apalagi organisasi partai yang terbelah seperti yang terjadi pada waktu yang lalu yang masih terasa akhir-akhir ini pada beberapa partai, kiranya diantisipasi jauh hari. Kalau tidak, maka sejarah partai ke depan akan lesu dan itu merugikan ummat dan bangsa secara keseluruhan.

Selanjutnya, Parpol Islam kiranya melakukan antisipasi terhadap kemungkinan berkembangnya radikalisme ideologis, apalagi gerakan ekstrim yang akan menimbukan gesekan dan titik api. Upaya menyusupnya kekuatan ekstrim yang dibawa oleh Islam transnasional ke dalam Parpol yang pada gilirannya merembes ke tengah masyarakat, umat dan bangsa harus diwaspadai dan harus kreatif melakukan upaya antsipatif .

Bersamaan dengan itu semua, bingkai ukhuwah dan silaturrahim sekaligus pendidikan politik umat dan bangsa, kiranya menjadi kepedulian yang prima bagi Parpol, terutama Parpol Islam. Wa Allah a’lam bi al-shawab. ***
 __________________________________________
[1] Disampaikan pada Orasi Ilmiah Diesnatalis UIN-IAIN IB Padang, 12 Desember 2017.


http://www.wikiwand.com/id/Shofwan_Karim_Elha


[4] Tokoh utama dan pendiri al-Qaedah adalah Usamah bin Muhammad bin Awwad bin Ladin . Sering dipanggil Usamah bin Ladin (atau Osama bin Laden dalam ejaan Inggris) alias Tim Osman, (lahir di Jeddah, Arab Saudi, 10 Maret 1957 – meninggal di Abbottãbad, Pakistan, 2 Mei 2011 pada umur 54 tahun).
[4] Eric Schmitt; Thom Shanker (26 July 2005). “U.S. Officials Retool Slogan for Terror War”. New York Times. Retrieved 8 January 2015.
[5] “Bin Laden claims responsibility for 9/11. CBC News. 29 October 2004. Pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden muncul dalam pesan yang ditayangkan di stasiun televisi Arab selang beberapa saat setelah itu. Osama, pertama kalinya mengklaim tanggung jawab langsung atas serangan 2001 terhadap Amerika Serikat.
[6] Sebutan lain ISIL (Islamic State of Iraq and Levant) untuk menyebut wilayah di samping Syria juga kawasan sekitarnya.
[7] Semantik dari Bahasa Yunani, semantikos. Memberikan tanda sesuatu yang penting. Sema artinya tanda. Semantik merupakan sub-linguistik yang mempelajari makna atau yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis pemaparan lainnya. Lihat, Neurath, Otto; Carnap, Rudolf; Morris, Charles F. W. (Editors) (1955). International Encyclopedia of Unified Science. Chicago, IL: University of Chicago Press.
[9] Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984. Hal. 1-7.
[10] Shofwan Karim, “Fundamentalisme Barat Bukan Islam”, http://icmisumbar2007.blogspot.com/2008/07/fundamentalisme.html
[11] Shofwan Karim, “Bukan Charlie Hebdo, Nama Saya Ahmad”, http://www.harianhaluan.com/index.php/refleksi/37135-bukan-charlie-hebdo-saya-ahmad. Akses, 16.05.2015
[12] Kaum ortodox adalah kaum yang berpikir murni. Ortodoxi adalah sistem berfikir yang selalu memegang teguh prinsip murni doktrin agama, filsafat dan ideologi. http://dictionary.reference.com/browse/ORTHODOX
[13] Harun Nasution mengutip pendapat Muhammad Ibnu Abdul Wahab: (1) yang boleh disembah hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah selain Tuhan telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh; (2) kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut faham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi kepada Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib. Orang Islam yang demikian juga telah menjadi musyrik; (3) menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantara do’a juga merupakan syirik; (4) meminta syafaat selain dari kepada Tuhan adalah juga syirik; (5)bernazar kepada selain Tuhan juga syirik; (6) memperoleh pengetahuan selain dari al-Quran, hadist dan qias (analogi) merupakan kekufuran; (7) tidak percaya kepada kada dan kadar Tuhan juga merupakan kekufuran; (8) menafsirkan al-Quran dengan ta’wil (interpretasi bebas) adalah kufur. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:Bulan Bintang, 1975, hal. 24-25.
[14] Haykel, Bernard (2009). “Chapter 1: On the Nature of Salafi Thought and Action”. In Meijer, Roel. Global Salafism: Islam’s New Religious Movement. Columbia University Press. p. 34. ISBN 978-0-231-15420-8.
[16] Jihad: The Trail of Political Islam, London, I.B. Tauris, 2004. Lihat Hal, 222-224
[18] http://en.wikipedia.org/wiki/Salafi_jihadism, “Suicide Bombers in Iraq By Mohammed M. Hafez”. Retrieved 24 October 2014. Akses, 16.05.2015.
[20] Eksis dan bergerak di 45 Negara di dunia, Eropa, Afrika, Asia, Australia dan
Amerika. Lihat, Mohamed Nawab Mohamed Osman
[21] Oleh sebagian besar ulama Indonesia, Syiah sudah melenceng dari Islam. Bahkan ada yang memfatwakan, bukan Islam. Lihat, https://remajaislamantisyiah.wordpress.com/2014/12/11/fatwa-ulama-indonesia-tentang-syiah-sejak-dulu-hingga-sekarang/. Akses, 26.05.2015
[22] Ahmadiyah di luar Islam. Lihat, https://moslemsunnah.wordpress.com/2009/06/12/fatwa-mui-tentang-kesesatan-ahmadiyah/. Akses, 16.05.2015. Akan tetapi di dunia internasional, selalu saja dinisbatkan bahwa Ahmadiyah dan Syiah adalah Islam.
[23] Meskipun ketika Gus Dur turun dari Kursi Peresiden pada 2003 terjadi malapetaka hebat antara massa jamaah 2 organisasi besar ini di Jawa Timur. Waktu itu Akbar Tanjung, Megawati dan Amin Rais, yang terakhir ini dianggap tokoh ikon Muhammadiyah dibalik turunnya Gus Dus, ikon Nahdhatul Ulama. Presiden Gus Dur dijatuhkan melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Lihat, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/117600kisah_kejatuhan_gus_dur_dari_kursi_presiden. Akses, 16.05.2015
[24] Azyumardi Azra, “Akar Radikalisme Keagamaan: Peran Aparat Negara, Pemimpin Agama dan Guru untuk Kerukunan Umat Beragama”, Workshop Memperkuat Toleransi melalui Institusi Sekolah Bogor, 14 – 15 Mei 2011.
[25] PPP merupakan hasil fusi politik Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
[26] http://www.pks.or.id/content/sejarah-ringkas. Akses, 17.05.2015. Menjadi PKS setelah PK tidak mencapai Electoral threshold untuk menghadapi Pemilu 2004, maka 2 Juli 2003 PKS menyelesaikan administrasinya, sehingga PK menjadi PKS dengan teransfer semua asset, kepengurusan dan keanggotaan sebelumnya.
[27] Abdulhttp://www.pks.or.id/content/sejarah-ringkas Rahman Wahid, Ed. Ilusi ne­gara Islam : e­kspansi ge­rakan Islam transnasio­nal di Indo­ne­sia. Jakarta : The­ Wahid Institute­, 2009. Hal. 248.
[28] Abdul Aziz, “PKS bantah beraliran Wahabi”. Antara, 4 Juni 2013


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengabdian Warga Muhammadiyah: Rekonstruksi Kiprah H. Amran dalam Pendidikan

Narasi Sahabat Alumni 1972: Dr. Dra. Hj. Nurhayati Zain, B.A., M.A