Kegelisahan Gamawan Fauzi


Duplikasi Kegelisahan GF dan Kita
Oleh Shofwan Karim
Nampaknya, telah terjadi duplikasi (kesamaan) kegelisahan antara Gubernur Gamawan Fauzi (GF) dan sebagian besar masyarakat di ranah Minang dan Sumbar tercinta ini. Setidaknya kegelisaan itu terditeksi pada pertemuan 20-an orang para pemimpin dan pegiat Muhammadiyah Sumbar kemarin (17/3).
Gelisah pertama, fokus menjadi CPNS. Seakan berenang di atas arus kemasygulan tak tertanggungkan, dengan raut wajah rusuh, GF menyorot “hawa-nafsu” masyarakat di kampung kita ini untuk menjadi pegawai negeri, melebihi provinsi-provinsi lain. Secara kasar terungkap, bahwa Jawa Barat yang penduduknya sekitar 25 juta jiwa, yang mendaftar menjadi CPNS kemarin hanya lebih kurang 80-an ribu orang. DKI Jakarta yang berpenduduk 9 juta orang, yang mendaftar menjadi CPNS kemarin hanya 25-an ribu orang. Sedangkan Sumbar yang berpenduduk hanya 4,5 juta orang, bernafsu menjadi CPNS lebih dari 100 ribu orang. GF mengeluh, apakah ini akibat di Sumbar tidak ada industri besar, ataukah karena faktor lain ? Sehingga masyarakat ingin menjadi CPNS seperti orang ketagihan obat yang overdosis.
Menurut hemat kita faktor lain itu amatlah beragam. Bukan hanya soal sikap, berkembanganya virus mental ambtenar, tetapi ada juga hal-hal praktis yang patut kita renungkan. Di antaranya, belum memadainya kehidupan dan gerakan sektor sewasta (privat). Investasi dan industri yang dulu pernah menjanjikan, ternyata banyak yang layu sebelum berkembang. Ada dulu Sumatex Subur, Lingkungan Industri Kecil (LIK) Gadut, Padang industrial Park (PIP), perkebunan di Pasaman, di Sawahlunto-Sijunjung bagian selatan-timur (kini Dharmasraya), Solok dan Solok Selatan, Pesisir Selatan dan Agam Barat. Pada beberapa kawasan tadi, lahannya sudah dikavling tetapi sebanyak yang tergarap, lebih banyak lagi yang terbiar. Padahal kayu rimba belantara itu sudah habis dijual oleh pihak tertentu . pemegang HPH . Mereka sudah sudah selesai membabat hutan.
Ada satu dua industri kecil, dan perdagangan atau perkebunan tetapi baru menampung amat sedikit tenaga kerja. Ekonomi produktif rakyat belum tumbuh menjadi suatu lahan kehidupan yang menenteramkan. Sistem penggajian pada sektor swasta relatif belum stabil. Asuransi kesehatan, tabungan pensiun, perumahan dan kenaikan gaji berkala hanya ada pada pegawai negeri di luar itu tak jelas. Profesi lain, di luar pegawai negeri hanya cocok untuk orang-orang yang kreatif, dinamis dan innovatif. Kita, sementara ini tampaknya belum berhasil mendidik masyarakat menjadi kreatif, dinamis dan inovatif itu.
Gelisah kedua, soal organisasi kemasyarakatan (Ormas). Dari 252 ormas yang tercatat di Sumbar, sebagian besar hanya aktif ketika akan melaksanakan musyawarah penggantian kepengurusan. Sesudah itu tidur lelap. Bahkan menurut GF, sewaktu menjadi Bupati dulu, ada Ormas yang sangat diharapkan menggerak masyarakat lebih optimal, sehingga diberi dana alokasi bantuan 1,1 milyar Rupiah, hanya bisa menghabiskannya 300 juta. Selebihnya, 800 juta terpaksa dikembalikan ke Pemda, karena tidak bisa menjalankan programnya.
Tentu saja pengalaman GF itu tidak berlaku untuk Muhammadiyah. Di Sumbar, persyarikatan ini mengelola 291 atau hampir 300 lembaga pendidikan dari TK sampai Universitas. Kebanyakan yang menggunakan jasa pendidikan Muhamamdiyah adalah masyarakat berekonomi lemah. Masih menurut GF, dalam satu kunjungannya ke sekolah Muhammadiyah di Solok, ternyata murid di sekolah itu mayoritas tidak makan pagi karena ketidak mampuan orang tuanya. Mereka berbaju lusuh, dan tentu saja belum memiliki buku dan peralatan belajar yang memadai. Universitas Muhamamdiyah Sumbar, menghimpun tujuh fakultas, baik sosial maupun eksak: Agama, Ekonomi, Hukum, Pertanian, Kehutanan, Teknik, dan Keguruan Ilmu Pendidikan. Sesuai dengan namanya Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat yang sudah berdirinya sejak dari asalnya Fakultas Hukum dan Falsafah tahun 1955 di Padang Panjang dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Bukittinggi dan Fakultas Adab, kemudian Syari’ah di Padang akhir 1960-an, kemudian berdiri beberapa fakultas lainnya, berhimpun menjadi UMSB tahun 1970. Ketujuh fakultas tadi tersebar di Padang, Padang Panjang, Payakumbuh dan kelas nonreguler . Hal itu sudah berlangsung sejak lama, jauh lebih tua dari Universitas Swasta lain di provinsi ini.
Universitas ini sekarang tengah melakukan penguatan kelembagaan, perbaikan manajemen dan pengelolaan serta peningkatan mutu akademik, kualitas pendidikan-pengajaran, penilitian, pemberdayaan masyarakat dan lingkungan serta kemahasiswaan. Untuk kepentingan umat ke depan.Universitas Muhammadiyah sedang melakukan penjajakan untuk mendirikan Fakultas Kesehatan, Pariwisata dan Ilmu Sosial dan Politik. Sejalan dengan itu melakukan program yang berpihak ke masyarakat yang tidak berkemampuan. Misalnya untuk kader ulama dibuat program reguler-plus kader ulama dengan mengumpulkan bantuan masyarakat. Mereka yang kuliah berasal dari keluarga tak mampu tetapi memiliki otak cerdas. Mereka diasuh dengan kuliah gratis, asrama gratis, dan makan gratis, serta fasilitas untuk live-skill yang gratis pula. Semuanya dapat terlaksana secara perlahan-lahan dan menempuh berbagai kesulitan atas bantuan para dermawan berbagai pihak.
Selain kiprah pendidikan di atas, sebagai icon Muhammadiyah gerakan dakwah dan sosial amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah terus melakukan peningkatan kepedulian dan santunan sosial, Muhammadiyah mengelola 42 Panti Asuhan. Jumlah itu merupakan dua pertiga dari 60 Panti yang ada di Sumbar secara keseluruhan. Selain itu Muhammadiyah menjalankan dua Rumah Sakit di Padang dan Pariaman. Beberapa buah BPR dan BMT ada di beberapa kabupaten dan kota, ratusan Masjid dan Mushalla . Ada pula lahan yang di atasnya ada bangunan pada 537 kavling atau dua juta meter persegi dan lahan kosong yang belum produktif sekitar 200 hektar di seluruh pelosok Sumbar.
Persoalannya, Muhammadiyah pun bukanlah organisasi yang kuat dan kokoh seperti gambaran sementara orang. Nama besar Muhammadiyah dan klaim Muhammadiyah adalah yang terbesar di Indonesia demikian pula di Sumbar, belum sepadan dengan tanggungjawab moral, material dan finansial yang harus dipikul para pegiat dan pemimpinnya. Di antara 15 Pimpinan Daerahnya, 124 cabang dan 721 Ranting persyarikatan Muhmmadiyah di seluruh wilayah Sumbar, tidak sampai 40 persen yang aktif bergerak membenahi dan menjalankan organisasi serta amal-usahanya. Selebihnya, warga Muhammadiyah lebih banyak “bercakap-cakap”, “mengeluh” dan “pandang memandang” sinisme dan berpangku tangan. Kecuali bila saat gebyar politik sekali 5 tahun, maka Muhammadiyah terdorong ke sana kemari. Ada yang memuji dan banyak pula yang memaki. Apalagi bila suatu masa banyak yang mengaku Muhammadiyah tetapi bila ditimpa masalah berat, maka Muhmmadiyah menjadi sasaran tembak dan tertuduh. Ke depan, seperti yang telah dicanangkan Muhammadiyah sejak 5 tahun lalu dan Musywil di Sawahlunto (9-11 November 2005) diikrar ulang untuk revitalisasi cabang dan ranting Muhammadiyah. Revitalisasi itu memerlukan energi dan kerja keras. GF, yang pada waktu pertemuan kemarin menerima Kartu Anggota Muhmmadiyah, termasuk yang bertanggungjawab untuk mendorong Muhammadiyah ke depan.
Gelisah ketiga, pengamalan agama yang sempit. Di antaranya, agama hanya diartikan sebatas penegakan syariat Islam secara simbolik. Belum syari’at Islam yang difahami secara total. Paling tidak, ada dua pemahaman tentang syariat Islam. Pertama, pemahaman simbolik (lambang) dan kedua pemahaman substantifistik (isi). Dialektika dan penekanan pemahaman simbolik dan substantifistik itu, sudah ada sejak hampir 15 abad lalu. Sejak zaman Rasulullah saw., para sahabat khulafa al-rasyidun, tabiin, dan masa dinasti Abbasiyah dan Muawiyah serta Turki Usmani, Shafawi dan Mughal sampai era moderen Islam 2 abad lalu hingga masa kontemporer sekarang ini dialektika itu berkelanjutan. Hanya, bagi mereka yang tidak menggeluti secara intensif dialektika itu, akan termenung dan tercenung, melihat situasi dan kondisi belakangan ini. Sehingga ada kelompok ummat yang mengklaim, apa yang disebutnya konsep syariat Islam, itulah yang benar. Di luar itu, bukan konsep syariat Islam. Tuduhan kepada pluralisme Islam, liberalisme Islam, sudah ada sepanjang masa sejak kehadiran Islam di permukaan bumi. Ketika Nabi Muhmmad menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan di negara-kota Madinah, beliau membuat undang-undang dasar sebagai landasan hidup bersama yang kemudian dikenal sebagai dustur atau konstitusi Madinah. Konstitusi ini, belakangan ada yang menyebut sebagai konsep awal civil society atau masyarakat madani yang intinya mengandung prinsip pluralisme Islam. Tentu saja tulisan ini belum akan mengungkap pembahasan ini secara lebih mendalam.
Kembali kepada kegelisahan, GF seakan menangkap bahwa pemahaman ummat dewasa ini tentang agama adalah syariat Islam yang simbolik itu. Belum isi, apalagi aplikasi dan kenyataan yang dilahirkan dalam tatanan kehidupan. Misalnya, sebagai biasanya, perhatian GF terhadap korupsi dan penyelengaraan pemerintah yang baik dan bersih selalu konsekuen dan konstan, terkesan kurang direspon oleh kelompok yang menamakan pemegang teguh syari’at Islam. GF mensinyalir apa yang dilaksanakan sebagai perbaikan hidup duniawi, pembangunan dan menegakkan pemerintahan yang anti korupsi, tidak dianggap oleh pemahaman arus utama tadi sebagai pelaksanaan syari’at Islam.
GF merasa heran, mengapa Korea dan Thailand yang bukan pemeluk dominan Islam, hanya dalam tempo 3 tahun sudah pulih dari krisis moneter dan ekonomi, sementara Indonesia sudah 9 tahun belum juga pulih dari krisis yang serupa. Kalau kita mau sedikit nakal memahami jalan pikiran GF, seakan kita lebih mementingkan kata-kata penegakan syariat Islam dalam kalimat perundangan dan peraturan. Di luar itu kita belum sempat memikirkannya. Karena itu ada saja tudingan yang beranggapan kita terlalu sempit dalam memahami syari’at Islam. Misalnya ketika korupsi berjama’ah dituduhkan orang kepada kita, maka kita murka dan berang tak alang kepalang. Tentu saja, perdebatan bisa sengit ketika pihak pembela menyatakan telah terjadi ketidak adilan struktural. Sejalan dengan itu semua, maka kegelisahan GF tentang jumlah kuantitafi umat Islam di Indonesia yang 88 % dan di Sumbar 97 % persen, tetapi secara kualitatif amat lemah adalah concern kita bersama. Artinya, kegelisahan GF adalah duplikasi kegelisahan kita bersama. Tentu saja, upaya kita bersama bagaimana mengubah kegelisahan itu menjadi ketenteraman. Allah ‘alam bi al-shawab. shofwan@hotmail.com,shofwankarim@plasa.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengabdian Warga Muhammadiyah: Rekonstruksi Kiprah H. Amran dalam Pendidikan

Narasi Sahabat Alumni 1972: Dr. Dra. Hj. Nurhayati Zain, B.A., M.A