Papa Rusli Marzuki Saria (RMS)
Oleh Shofwan Karim
(Rektor UMSB, Komisaris PTSP dan Dosen IAIN IB Padang/Diperbarui 23.08.2020-kini Ketua PW Muhammadiyah Sumbar 2015-2020).
Rusli Marzuki Saria (RMS) alias Papa, bagi saya adalah sastrawan dan budayawan motivatif dan inspiratif. Selalu membimbing dan memberi peluang besar kepada kaum muda berbakat. Saya merasa mendapat rezeki motivasi, bimbingan dan peluang itu. Dunia menulis dan sastra saya nikmati pada 1970-an sampai sekarang.
Meski kesibukan utama sebagai dosen dan aktivis masyarakat mengurangi waktu saya untuk menggeluti dunia tulis menulis dan kesusasteraan itu. Karenanya kenangan saya pada 1970-an dan 1980-an tak ingin saya biarkan berlalu begitu saja dalam memperingati 70 tahun Papa.
Ada tiga lokalitas interaksi motivasi, bimbingan dan peluang yang menjadi wilayah tuang Papa kepada saya. Taman Budaya Padang, IAIN Imam Bonjol kampus Sudirman dan Surat Kabar Haluan . Setelah mulai kuliah di IAIN pada 1972, saya berkelana di antara empat sudut sama sisi Padang kota tercinta yang kujaga dan kubela ini.
Pertama, IAIN Jl Sudirman tempat kuliah. Kedua, Masjid Taqwa Muhammadiyah Pasar Raya Jl Bundo Kanduang untuk aktivitas kegiatan keagamaan dan sosial kemahasiswaan esktra universitas; Ketiga, Taman Budaya Jl Diponegoro untuk beraktivitas sastra, teater dan berseni-budaya dan Keempat, surat kabar (SK). Seperti Surat Kabar Haluan Jl Damar Padang untuk tulis menulis. Menulis di Harian Semangat dan Singgalang pada waktu itu juga saya lakukan tetapi tidak seproduktif di Haluan.
Kecuali di Masjid Taqwa, maka di keempat tempat lainnya tadi saya selalu bergurau, berdiskusi, berpuisi dan bersastra serta mengadu inspirasi tulis menulis.
Di situlah Papa, bagi saya menjadi motivator dan tutor. Bagi kalangan anak muda sebaya saya waktu itu, menulis di Budaya Minggu ini setiap Selasa dan Remaja Minggu ini di SK Haluan merupakan kebanggaan yang tak ada taranya.
Pada kedua lembaran budaya tadi, Papa adalah pengasuhnya. Tentu saja saya ingin menyebut nama-nama berikut, dengan tidak mengurangi penghormatan ke Papa. Mereka senior-senior kita di komunitas seniman dan budayawan kala itu.
Di antaranya generasi pertama dan di situ termasuk Papa. Mereka adalah AA Navis, Chairul Harun, Leon Agusta, BHR Tanjung, M Joesfik Helmi, Bagindo Fahmi, Wisran Hadi, Makmur Hendrik, Rustam Anwar, Jusna Rustam, Yusaf Rahman, Syofyani Yusaf, Basril Djabar, Muchlis Sulin, Nasrul Sidik dan lainnya.
Generasi kedua Darman Moenir, Edi Ruslan P Amanriza, A. Alin De, Haris Efendi Tahar, Upita Agustine, Asril Joni, Alwi Karmena.
Generasi ketiga agaknya Asbon, Erdi Janur, Dery dan Eka DBS, Ernalis Nur, Yulizal Yunus, Zaili Asril, Fachrul Rasyid, Akmal Darwis, Indra Nara Persada, Adi Bermasa, Herman L, Emaraldi Chatra, Syafrial Arifin, Syarifudin Arifin, Sofia Trisni, dan mungkin termasuk saya dst.
Di tengah deretan nama tadi, Papa bagi saya bermakna khusus dan punya kesan tersendiri. Karena itu, saya tidak saja bertemu dengannya ketika kita ada kegiatan dan acara kebudayaan, seni dan sastra di IAIN Imam Bonjol yang kala itu amat intensif, atau di Taman Budaya dan mengantar tulisan ke Haluan, tetapi saya juga bertandang ke rumahnya di Wisma Warta.
Tentu saja untuk berdisikusi terutama tentang tulisan yang akan dimuat. Untuk tulisan yang rada-rada di luar kepatutan untuk ruang budaya, saya menyalurkannya kepada S Dt Tuo, pengasuh artikel di Haluan kala itu. Papa, kalau bicara terasa puitik dan pilosofik .
Kalau saya menyebut tulisan untuk dipertimbangkan, maka dia berkata: “ alah muntah pulo” (sudah muntah lagi). Apakah tulisan saya merupakan hasil muntahan?. Sampai sekarang menimbulkan pemahaman bermacam-macam di kepala saya.*** shofwan.karim@hotmail.com
Komentar