Berwacana Bagian Tugas Memimpin

Oleh Shofwan Karim
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III, Balai Pustaka (2005), wacana artinya komunikasi verbal; percakapan; kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat; dan pertukaran ide secara verbal. Dalam langgam bahasa sehari-hari berwacana boleh dianggap identik dengan berpolemik, baik verbalis (lisan) maupun tulisan.
Amatlah menarik wacana (baca: polemik) yang buncah di harian Padang Eskpres sejak 20 sampai 26 Februari kemarin lalu. Di mulai dari wacana pemikiran yang dilemparkan 12 Februari lalu oleh Gubernur Gamawan dalam satu acara World Bank di Jakarta, ditulis oleh beberapa media termasuk di sebuah harian di Padang (13/2) . Agaknya, sebagai ungkapan tanggungjawab kaum cendekiawan atau kaum intelektual, Pemimpin Umum Padang Eskpres, Wartawan Senior St Zaili Asril, menulis dalam ”Teras Utama” Harian Padang Ekspres edisi Selasa (20 Februari 2007) berjudul ”Wacana Penghapusan Provinsi Gamawan” . Bak kata berjawab gayung bersambut, berikut tanggapan Gamawan Fauzi untuk Tulisan St Zaili Asril itu , Penghapusan Provinsi Bukan Wacana ”Asbun”. (Padang Ekspres, Kamis, 22/2). Sejak itu arus petukaran pemikiran itu mengalir dari berbagai kalangan di Sumbar dan Jakarta dalam tulisan dan komentar sampai ujungnya dimuat lagi dalam bentuk artikel opini di Padang Ekspres 26 Februari.
Secara umum, dengan tidak mengurangi substansi pemikiran Gubernur Gamawan soal penghapusan pemerintah tingkat provinsi, ada tiga hal yang perlu dihargai. Pertama, semua pewacana menyambut bahwa kegairahan berwacana atau berpolemik adalah sesuatu yang positif atau baik untuk pertumbuhan dinamika gerak intelektual daerah ini. Sesuatu yang sudah agak lama hilang sekarang bangkit lagi. Pada beberapa bagian tulisannya St Zaili memujikan kemauan dan kemampuan Gamawan berolah pikir dan kata yang menggenjot dunia kecendekiawanan itu.
Selama ini ada pejabat yang rentan kritik, paling hanya membuat relis ke koran dan minta pemberitaannya diluruskan. Ada pula yang langsung minta maaf, kalau apa yang dimaksudnya itu tidak tepat. Maka sosok Gamawan yang berani berpolemik, sebagai yang dikutip beberapa pewacana tadi adalah dipujikan.
Kedua terhadap substansi pemikiran penghapusan pemerintah provinsi yang pada umumnya memandang masih perlu dikaji secara lebih akademik dan merujuk ke undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi bahkan ke konstitusi.
Ketiga, ada yang cukup menggelitik lagi, yaitu adanya penekanan bahwa Gubernur Gamawan diminta menghentikan wacana pemikiran. Karena sebagai pemimpin tertinggi eksekutif daerah ini, Gubernur harus fokus ke tugas-tugas dan koordinasi administrasi dan birokrasi pemerintahan, pembangunan fisik dan non-fisik serta memajukan dan membina masyarakat dalam pendidikan, kesehatan dan pengentasan kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan dan pembinaan masyarakat.
Dari sepekan polemik itu, terpikir oleh penulis bahwa untuk butir yang ketiga tadi belum rapi karena itu perlu dilengkapi lagi. Di antaranya adalah pernyataan di penghujung tulisan Abel Tasman 22/2 dan bagian akhir tulisan St Zaili 26/2. Terkesan kepada penulis bahwa Gamawan dilarang banyak berwacana. Abel menulis : “Untuk itu, tidaklah tepat bila seorang kepala pemerintahan kerjanya hanya berwacana, sering-sering melontarkan kendala. Tunjukkanlah kerja nyata. Toh, sebelum maju jadi gubernur, Gamawan sudah sangat paham medan yang akan dihadapinya. Anggaplah wacana penghapusan pemerintah provinsi ini sebagai anti klimaks dari periode pemerintahan gubernur wacana”. (Abel Tasman, Teras Utama: “Memimpin dengan Wacana”, Padek 24/2). Begitu pula St Zaili: “Pak Gubernur Gamawan! Mungkinkah Bapak sedikit bicara/berwacana dan lebih banyak bekerja/mengarahkan pelaksanaan. Sebut saja, “gerakan pengurangan KK miskin berbasis nagari” yang dicanangkan Presiden SBY. Ada evaluasi, apa aksinya di lapangan!? (St. ZA, “Sekadar Melengkapi Gamawan (Bag. 2 dari 2)”, Padek 26/2).
Penulis khawatir, kalau Gubernur Gamawan mulai tutup mulut dan tidak mau lagi bercakap-cakap atau berwacana tentang berbagai hal yang dia pikirkan, kerjakan, amati dan carikan jalan keluar dari masalah pemerintahan daerah secara jujur. Beliau khawatir datang lagi opini yang kurang respek terhadap aspek wacana itu. Padahal berwacana merupakan bagian pula dari tugas para pemimpin. Bung Karno dan Bung Hatta kita kenal cukup banyak berwacana. Penulis, termasuk orang yang kagum dengan pemikiran pemimpin kita dalam berwacana. Bahkan menurut pikiran penulis, berwacana merupakan bagian yang melekat dalam tugas para pemimpin. Karena pada wacana itulah sebagian tugas dan tanggung jawabnya dapat menjadi sarana dan media untuk mencapai sasaran dan tujuan. Bung Hatta melahirkan ide dan konsep koperasi, tapi tak pernah dan tak perlu menjadi Ketua KUD .
Kembali kepada wacana Gubernur Gamawan, menurut penulis perlu dikategorikan atau dipilah-pilah. Pengamatan ini merupakan kajian selintas penulis berdasarkan wacana formal dan informal dengan beliau. Beberapa kali, bahkan, penulis ikut nimbrung mengikuti wacana Gubernur Gamawan adalah atas kebaikan Pemimpin Umum Padang Ekspres St. Zaili Asril dan sahabat-sahabat Padang Ekspres pada rangkaian acara Sewindu Padang Ekspres baru-baru ini. Baik pada acara makan siang di Gubernuran maupun Seminar di Bumi Minang 13 dan 14/2 lalu.
Penulis merujuk kepada Prof Dr. Helmi yang mengatakan bahwa : “Setidaknya ada tiga tataran berfikir/argumentasi. Yang paling terbawah adalah tataran berfikir/argumentasi teknis-operasional yang menyangkut implementasi. Di atasnya adalah tataran berfikir/argumentasi strategi-kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan dan seperti apa bangun tindakannya. Yang paling atas adalah tataran berfikir filosofis-substantif yang lebih menyangkut tataran ide (atau lebih populer dengan sebutan wacana). (Padang Ekspres, 26/2).
Kalau kita sederhanakan rumusan Dr.Helmi ini, maka wacana yang dikembangkan Gubernur Gamawan yang baru sempat kita polemikkan adalah salah satu serpihan dari tataran filosofis-substantif tadi. Penulis sebut serpihan, karena banyak lagi wacana Gubernur Gamawan pada tataran filosofis-substantif yang lain yang cukup signifikan. Sedangkan dua yang lain: teknis-operasional-implementatif dan strategi-kebijakan Gubernur Gamawan belum tersentuh. Padahal Gamawan cukup kaya dan sudah menunjukkan karya nyatanya dalam dua kategori tataran yang disinggung Dr Helmi tadi.
Pada tataran pertama, teknis-operasional yang menyangkut implementasi. Pada beberapa kesempatan Gubernur Gamawan sudah mengemukakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi naik dari Rp 950 milyar pada tahun 2005 menjadi Rp1,1 triliyun pada tahun 2006 dan sekarang menjadi Rp1,2 triliyun pada tahun 2007. Selanjutnya Daftar Isian Pelaksanaan Angaran (DIPA) atau anggaran pusat untuk pembangunan Sumbar dari Rp7 triliyun pada tahun 2006 menjadi Rp10 triliyun lebih tahun 2007. Ini termasuk peringkat kelompok tertinggi di antara beberapa provinsi di Indoanesia. Karena sumber daerah kita sangat terbatas, peningkatan DIPA ini tentulah amat besar artinya.
Demikian pula pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada tahun 2006 lalu adalah 6,14% , itu artinya berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang baru 5,6%. Dari segi efisiensi belanja pengeluaran bagi jamaah haji dan tumbuhnya kebanggaan daerah, maka keberhasilan menjadikan Bandara Internasional Minangkabau (BIM) sebagai embarkasi haji, sekaligus membangun asrama haji yang representatif; menaikkan rangking pendidikan Sumbar dari 17 menjadi urutan 7 dan 8, pada tahun lalu. Dan lain-lain, semuanya melengkapi kerja besar kepemimpinan Gamawan-Marlis bersama pejabat dan aparat terkait daerah serta lembaga dan anggota legislatif atau perwakilan rakyat daerah ini.
Mungkin banyak lagi hal-hal lain dalam percepatan pembangunan yang sudah diimplementasikan. Diharapkan Gubernur Gamawan lebih gencar lagi menyampaikannya. Kalau tidak silap, penulis bahkan sudah membaca teks naskah Seminar Sehari Padang Ekspres di Bumi Minang (14/2) dan dimuat di halaman opini satu halaman penuh Padang Ekspres pada hari berikutnya. Di situ beberapa cuplikan tataran teknis-operasional-implementatif yang dikerjakan Gubernur Gamawan atau pemerintah provinsi juga diuraikan.
Pada tataran kedua, strategi-kebijakan. Untuk itu, mungkin dapat dirujuk pada apa yang telah dijabarkan dan disusun dalam Buku Tujuh Agenda Pembangunan Sumbar . Ketujuh agenda itu adalah (1) meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan sosial budaya; (2) membangun sumberdaya manusia berkualitas; (3) menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersih; (4) membangun ekonomi yang tangguh dan berkeadilan; (5) mengembangkan infrastruktur yang mendorong percepatan pembangunan; (6) mempercepat penurunan tingkat kemiskinan; dan (7) memberdayakan nagari sebagai basis pembangunan.
Tentu saja, apa yang kini tengah dalam proses dan akan segera terwujud dapat ditambahkan misalnya, pembangunan Masjid Raya Povinsi setelah renovasi Masjid Raya Nurul Iman ; jalan Sicin-Malalak dan lanjutan pembangunan jalan kelok sambilan di Kab. 50 Kota; pada bulan Juni ini akan diresmikan pembangunan listrik oleh PLN dua kali 150 megawatt di Padang dan dua kali 100 megawatt di Pesisir Selatan oleh pihak swasta, merupakan realisasi dari keinginan semua pihak menjadikan Sumbar sebagai pusat jaringan distribusi listrik utama di Sumatera.
Semua hal-hal yang disebutkan itu hanya sebagian kecil barangkali yang mungkin bisa kita rujuk bahwa Gubernur Gamawan tidak sekedar berwacana yang bersifat filosofis-substantif seperti yang disinggung Prof Helmi tadi, tetapi bekerja nyata dalam melaksanakan dan mengkoordinasikan pembangunan di Sumbar. Artinya, wacana Gubernur Gamawan tidak boleh berhenti bersamaan dengan aksi dan kerja yang dialakukan terus menerus. Berwacana merupakan bagian pula dari tugas dan fungsi kepemimpinan. Wa Allah al-A’lam bi al-shawab. ***
shofwan2004@yahoo.com,rektor@umsb.ac.id,www.umsb.ac.id, www.shofwankarim.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengabdian Warga Muhammadiyah: Rekonstruksi Kiprah H. Amran dalam Pendidikan

Narasi Sahabat Alumni 1972: Dr. Dra. Hj. Nurhayati Zain, B.A., M.A