Mengemas Solusi Trauma Gempa

http://www.shofwankarim.blogspot.कॉम

Mengemas Solusi Trauma Gempa
Oleh Shofwan Karim

Sehari setelah bencana gempa, dari Rabu hingga Jum'at sore (7-9/3) Penulis ikut berturut-turut menyilau lokasi yang porak poranda itu di Solok, Tanah Datar, Padang Panjang, Agam, Bukittinggi, Payakumbuh dan 50 Kota. Penulis bergabung pada 3 hari itu mulai dari rombongan PT Semen Padang, seterusnya Wakil Ketua DPD RI Irman Gusman, Gubernur Gamawan Fauzi dan Ibu Hj Mufida Kalla.

Secara umum, semua upaya tanggap darurat yang telah dilakukan adalah seperti yang sudah dimaklumi sebagaimana laporan media. Mulai dari penghimpunan data korban jiwa, luka ringan, berat, bangunan yang runtuh, rusak ringan, berat, rumah, fasilitas umum seperti sekolah, Masjid, kantor dan seterusnya. Di mana-mana sudah berdiri Posko bantuan sebagai pengendali, penyalur, pendistribusian, dan pusat informasi oleh Pemda setempat, TNI, Depsos, PTSP, dan beberapa LSM, Organisasi Sosial bahkan beberapa Parpol.

Secara fisik, telah diidentifikasi kebutuhan mendesak di antaranya adalah tenda untuk perlindungan, selimut, air minum, sembako, makanan ringan, obat-obatan, susu untuk bayi dan dan tempat belajar bagi anak-anak sekolah yang gedungnya runtuh. Semua itu, tampaknya relatif terkendali, meski pun oleh media juga disampaikan bahwa ada beberapa kantong-kantong dan tempat-tempat tertentu yang belum memadai mendapat bantuan yang telah datang dari berbagai pihak baik, lokal, regional dan bahkan internasional itu baik langsung maupun melalui Posko-posko.

Menurut hemat Penulis, yang tak kalah pentingnya juga dan ini terasa belum cukup tersentuh adalah solusi terhadap trauma, kegelisahan, ketakutan, dan serba ketidak menentuan. Di antara reruntuhan rumah yang terpencar-pencar, di bawah tenda-tenda darurat yang dibuat apa adanya, entah dari plastik, dari tikar atau kain yang ditopang kayu dan rajut tali tak beraturan itu, perasaan was-was itu menjadi "selimut" dan irama nafas mereka turun naik. Sebentar-sebentar terasa ada goncangan, orang tua dan anak-anak ketakutan. Apalagi menurut beberapa pakar geologi dan gempa, 14 hari ke depan pasca 6/3 itu –nyatanya memang demikian—gempa susulan setiap hari terjadi. Bahkan sampai sekarang, katanya sudah lebih 8 ratus kali, baik yang terasa goncangannya maupun yang tidak.

Cerita-cerita imajinasi, ditambah beberapa isyu yang sulit ditafsirkan dan dicari sumbernya, semuanya menambah langkapnya kondisi batin yang bolak-balik antara alam nyata dan fiksi dengan berbagai variasinya. Sementara itu roda kehidupan tentu harus terus berputar dan tak hendak kita hentikan. Pada beberapa kota 3 hari pertama tampak beku dan serba tak menentu itu, diharapkan pekan-pekan ke depan ini sudah normal kembali.

Di tengah harapan itu, suara muballigh dan ustazd di Masjid, Mushalla atau di lapangan terbuka sebagai ganti Masjid dan Mushalla yang sudah tumbang dan tak laik dimasuki itu lagi, terus menerus memberi penyejuk bathin. Dan mereka sudah melakukan itu di mana-mana tempat. Bahkan ketika penulis shalat Jum'at kemarin di Masjid Shafinatullah di pinggir jalan raya Padang Luar ke Bukittinggi, tema kutbahnya adalah kesabaran menghadapi musibah ini. Perkiraan penulis, para Khatib, pada Jum'at kemarin tentulah hampir seluruhnya di mana-mana di Sumbar membahas hal yang satu ini.

Soalnya sekarang, apakah trauma bathin dan psikologis ini hanya satu-satunya disirami dengan tausiyah para ulama, muballigh dan ustaz ini?. Memang sentuhan qalbu dengan dalil teks Qur'an dan sunnah, pengokohan akidah, penguatan akhlak, moral dan pendekatan tasawuf amatlah strategis dan mudah-mudahan amat menolong. Akan tetapi adakah bentuk lain yang mungkin dilakukan?.

Terhadap murid-murid sekolah yang pucat pasi, berlari tak tentu arah, sekolah mereka yang runtuh, tangis seorang dokter yang masih berpakaian ruangan operasi keluar dan terduduk di sudut rumah sakit seperti tayangan media kemarin dan bermacam pengalaman masing-masing orang. Untuk semua mereka ini, mungkin diperlukan psikolog sosial, pembimbing rohani, dan konsultan bimbingan dan konseling. Sayangnya SDM kita untuk yang satu ini di tanah air kita masih langka. Dan apakah oleh para LSM dan Posko resmi pemerintah kita hal yang satu ini masuk agenda mereka ?.

Oleh karena itu, paling tidak, jalan satu-satunya kita harus saling memberi motivasi dan mendorong antara sesama bahwa kudrat dan iradat Allah itu tidak harus ditakuti dan menjadi trauma. Yang penting kita harus waspada, namun tidak perlu terlalu menguras emosi dan pikiran untuk berfikir yang di luar daya rasio dan perasaan normal kita. Kesabaran dan keikhlasan menerima musibah, diiringi kesiapsiagaan, tidak berarti kita harus larut dalam trauma dan was-was. Masing-masing kita agaknya bertanggungjawab mengemas solusi trauma gempa. Kepada Allah swt semua kita akan kembali. *** shofwan.karim@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengabdian Warga Muhammadiyah: Rekonstruksi Kiprah H. Amran dalam Pendidikan

Narasi Sahabat Alumni 1972: Dr. Dra. Hj. Nurhayati Zain, B.A., M.A