Ensiklopedi Minang_Entry1


http://www.shofwankarim.blogspot.com

Mohammad Natsir ( 1908-1993)Oleh Drs. H. Shofwan Karim, M.A.

(Dosen FU-IAIN Imam Bonjol Padang, Peserta Program S.3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang menulis Thesis tentang Mohammad Natsir)

Mohammad Natsir lahir di Kampung Jembatan Berukir, Kecamatan Lembah Gumanti, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993. Mohammad Natsir merupakan tokoh pendidik, penulis produktif, pendakwah, politisi-negarawan, pemikir, ulama dan pembela Islam. Secara umum kehidupannya dapat diikhtisarkan kepada empat fase. Fase pembentukan, pertumbuhan, pemikir dan politisi-negarawan, serta pemikir dan pengabdi dakwah. Fase-fase itu dilaluinya pertama, di Solok, Maninjau dan Padang tempat lahir dan masa remajanya 1908-1927. Kedua, di Bandung menuntut ilmu, menulis dan mendidik 1927-1945. Ketiga, di Jakarta sebagai politisi dan negarawan 1945-1966. Keempat, di Jakarta sebagai pendakwah, pegiat amal sosial, dan aktivis Islam internasional 1966-1993.

Fase I 1908-1927
Mohammad Natsir adalah putra dari Ibu Khadijah dan ayah Idris Sutan Saripado. Ayahnya Asisten Demang di Bonjol, kemudian menjadi juru tulis Kontrolir di Maninjau. Mulanya Natsir sekolah
Gubernemen berbahasa Melayu sampai kelas 2 tinggal bersama kedua orang tuanya, kemudian pindah ke Padang dibawa Eteknya Rahim. Tidak diterima HIS pemerintah, ia masih beruntung dapat masuk HIS swasta Adabiyah yang baru dibuka DR. Abdullah Ahmad.

Natsir kecil pindah ke Solok dan masuk kelas 2 HIS pemerintah. Di sini ia tinggal di rumah saudagar H. Musa, ayah seorang anak siswa kelas 1 di HIS yang sama. Sambil pagi sekolah di HIS, sorenya Natsir sekolah Diniyah dan malamnya mengaji al-Qur'an dengan Angku Mudo Amin.

Di kelas tiga Diniyah ia terpilih sebagai guru bantu. Tiga tahun kemudian atas permintaan Rabi'ah, sang kakak ia kembali ke Padang dan dan dapat diterima di kelas lima HIS pemerintah yang memang dari dulu diidamkannya. Ia menamatkan HIS ini tahun 1923.

Ketika kemudian melanjutkan sekolah ke MULO, ia mendapat bea-siswa yang sejak semula didambakannya lantaaran ekonomi keluarga pas-pasan. Di MULO ia aktif di kepanduan Natipij dari Jong Islamieten Bond (JIB) dam perkumpulan Jong Sumatera. Di dunia kepanduan ini Natsir muda sebagaimana juga tokoh-tokoh pejuang Indonesia lainnya tumbuh jiwa kesatria dan rasa kebangsaan yang paralel dengan jiwa keislaman.

Fase II 1927-1945
Setelah lulus MULO di Padang, Natsir masuk AMS di Bandung dengan bea-siswa Rp. 30. Di usianya yang 19 tahun itu ia tinggal di rumah Latifah, eteknya di kota Paris van Java itu. Di sekolah ini di samping belajar Bahasa Belanda ia belajar Bahasa Latin dan Kebudyaan Yunani. Di kelas 2 AMS ia sudah sanggup meneliti dan menganalisa "Pengaruh Penanaman Tebu dan Pabrik Gula Bagi Rakyat di Pulau Jawa" dan berani memaparkannya di depan kelas. Menurut Natsir pengaruh itu negatif.

Perasaan fanatik membela Islam mulai muncul dalam diri Natsir. Ini berawal ketika diajak guru gambarnya menghadiri khutbah Pendeta Protestan DS Christoffel yang menyerang Islam. Natsir membuat sanggahan yang dimuat dalam Surat Kabar Algemeen Indisch Dagblad (AID) dengan judul " Qur'an en Evangeli" dan " Muhammad asls Profeet".


Masa ini mulailah Natsir belajar politik secara tidak langsung dengan tokoh-tokoh seperti Haji Agus Salim, HOS Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo. Ia belajar Agama Islam pada Ustadz A.Hasan, seorang tokoh utama Persatuan Islam (Persis) Bandung secara intensif. Ustadz A. Hasan hidup dalam kesederhanaan, rapi dalam kerja, alim dan tajam argumentasinya dalam tukar pikiran dan berani mengemukakan pendapat. Kepribadian A. Hasan dan gerakan Persis Bandung ini tampaknya cukup berpengaruh dalam kehidupan Natsir selanjutnya.


Persis Bandung sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai tujuan antara lain : (1) melaksanakan berlakunya hukum Islam dan kembali kepada pimpinan Al-qur'an dan Sunnah; (2)menghidupkan jiwa jihad dan ijtihad; (3)membasmi bid'ah khurafat, takhayul, taklid, dan syirik; (4)memperluas tabligh dan dakwah Islam; (5)mendirikan pesantren dan sekolah untuk mendidik kader-kader Islam; (6)menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan.

Setamatnya dari AMS (1927-1930), Mohammad Natsir yang semula bercita-cita menjadi Mister in de Rechten (Sarjana Hukum) tidak melanjutkan kuliah ke Fakultras Hukum atau menjadi pegawai pemerintah, padahal ia mendapat tawaran bea-siswa di Fakultas Hukum di Jakarta dan di Fakultas Ekonomi Rotterdam Negeri Belanda.


Perhatiannya tertumpu kepada perjuangan di jalan Allah, sabilillah. Di AMS ia berhadapan dengan lingkungan intelektual yang sekuler dan dengan tekun mempelajari buku-buku berbahasa asing. Di masa ini ia terdorong mengajar mata pelajaran agama di sekolah MULO dan Sekolah Guru Gunung Sahari Lembang. Setamat AMS ia memantapkan dirinya sebagai pengkaji agama dan pejuang agama. Ia tidak memburu uang, tetapi cukup bekerja bersama A.Hasan Bandung sebagai anggota Redaksi Majalah "Pembela Islam" dengan honor Rp.20 perbulan. Ia terus belajar agama dengan konsep belajar agama bukan sekedar Ilmu Tauhid, fiqh, tafsir dam hadist tetapi juga ilmu filsafat Islam, sejarah kebudyaan Islam, pendidikan Islam, politik Islam dan lain-lainnya.


Pada fase ini Natsir mengisi perjuangannya dengan giat di bidang pendidikan, menulis dan berpolitik. Sore hari ia membuka kursus pendidikan Islam dengan murid awalnya lima orang dengan mengunakan tenpat yang dipakai pihak lain untuk kursus Bahasa Inggris. Kursus ini berkembang menjadi Pendidikan Islam dengan menyewa Gedung sendiri di Jalan Lengkong Besar No. 16 . Tempat ini menjadi Kampus Pendidikan Islam yang dipimpinnya 1932-1942. Pandidikan Islam di sini terdiri atas empat tingkat: Taman Kanak, HIS, MULO dan Kweeksckool (sekolah guru). Dalam perkembangannya sekolah ini berpindah-pindah sampai sekolah ini ditutup Jepang.

Dalam perjuangan membela Islam ia banyak menulis dalam majalah "Pembela Islam", Al-Manar, Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Ciri khas tulisannya pada masa itu adalah memeprtahankan dan membela Islam dari serangan kaum nasionalis dan sosialis, seperti Ir. Soekarno, Soewarni, Sitti Sundari, Dr. Soetomo dan lain-lain. Khusus terhadap Soekarno, Natsir terlibat polemik hangat yang terpenting dan paling monumental adalah tentang agama dan negara. Perdebatan dengan Soekarno terutama berlangsung 1936- 1940-an tatkala Bung Karno dibuang Belanda ke Endeh, Flores.


Tesis Soekarno ialah pembelaannya terhadap gerakan sekularisasi-westernisasi Kemal Ataturk di Turki berintikan ide pemisahan agama dari negara. Natsir yang mendukung faham kesatuan agama dan negara mendebat hujah-hujah Soekarno dan sumber-sumber rujukannya termasuk kitab al-Islam wa Usul' l-Hukm oleh Al-Syaikh Ali Abdul Raziq. Natsir mendebat argumen Soekarno yang mengutip Abdul Raziq tentang tidak terkaitnya tugas kerasulan Muhammad saw. dan kepemimpinannya terhadap ummat Islam.


Polemiknya dengan tokoh-tokoh lain di tahun 30-an ini berintikan masalah-masalah nasionalis-sekularis dan isu Islam dan masalah-masalah kebangsaan dan kenegaraan. Natsir menolak faham kebangsaan sekuler yang berintikan fanatisme bangsa sempit, tetapi ia menerima apa yang dinamakannya sebagai kebangsaan Muslimin yang berintikan cinta bangsa, semangat persatuan, persaudaraan Islam, kesadaran membela muruah dan cita-cita menegakkan Islam .


Jalur ketiga Natsir dalam memperjuangkan Islam pada masa ini adalah organisasi politik. Ia memasuki Jong Islamieten Bond Bandung dan menjadi ketua 1928-1932. Lalu bersama-sama temannya di Pembela Islam masuk ke PSII dan menyokong partai tersebut yang pada waktu itu di bawah pimpinan Haji Agus Salim dan HOS Cokroaminoto, selanjutnya beliau masuk ke Partai Islam Indonesia (PII).
Fase III 1945-1966
Pada fase ini Mohammad Natsir sepenuhnya bergerak di bidang politik dan kenegaraan. Ia menjadi aktivis Masyumi sejak Partai Islam ini dilahirkan tahun 1945 bersamaan dengan terbukanya kesempatan mendirikan partai-partai di awal kemerdekaan RI dengan Maklumat No X November 1945. Natsir aktif sebagai anggota Komite Indonesia Pusat dan menjadi anggota Badan Pekerja KNIP ini pada 3 Januari 1946.

Pada Kabinet Syahrir I dan II 1946-1947 ia diangkat menjadi menjadi Menteri Penerangan. Kembali posisi sebagai Menteri Pener angan beliau pegang di Kabinet Hatta 29 Januari 1948. Pada masa ini dia belum mementingkan ideologi Islam dan lebih mementingkan Nasionalisme mempertahankan kemerdekaan. Baru sikap Islam itu di tegakkannya sebagai yang telah dia perdebatkan pada tahun 1930-an lebih ekslusif ketika dia terpilih menjadi Ketua Umum Masyumi tahun 1949 sampai 1958. Partai Masyumi bertujuan menegakkan Republik Indonesia dan Agama Islam.

Cita-cita menegakkan Republik Indonesia itu pulalah agaknya yang mendorongnya mengambil inisiatif menyusun dan menyampaikan mosi integral pada tanggal 3 April 1950 di hadapan Dewan Perwakilan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu Indonesia terpecah ke dalam 17 negara bagian/federal. Tujuan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu mencapai tujuannya setelah mosi integral itu didukung kawan dan lawannya sehingga Soekarno memproklamasikan kembali negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1950 .

Ada kemungkinan atas jasa mosi integral itu Natsir ditunjuk Soekarno menyusun Kabinet, sekaligus sebagai Perdana Menterinya. Kabinet ini hanya berumur 8 bulan (6 September 1950-27 April 1951). Dilihat dalam ukuran waktu dianggap masa kabinet yang pendek, namun pada masa itu setiap kabinet yang memerintah rata-rata bersuia pendek, antara 2 sampai 18 bulan.

Tidak adil untuk mengharapkan prestasi yang terlalu besar dalam tempo yang singkat itu. Namun tidak juga adil untuk menggelapkan sama sekali prestasi Kabinet Natsir . Seperti disebut
Herbert Feith dalam The Decline of Constituional Democracy in Indonesia beberapa sukses Kabinet Natsir adalah membawa negara beberapa langkah ke jalan tertib sipil, melaksanakan administrasi rutin, dan meningkatnya produktifitas nasional serta pertumbuhan ekonomi. Menurut Ikhlasul Amal, Natsir sukses memikul beban tugas berat mengembalikan situasi revolusi ke dalam situasi normal dan meletakkan dasar-dasar politik demokrasi. Kegagalan dan jatuhnya Kabinet Natsir, telah menandai awal kemerosotan politik demokrasi di Indonesia.

Kejatuhan Kabinet Natsir boleh dibilang akibat oposisi PNI di parlemen dan tidak mau ikut duduk dalam kabinet Natsir. Faktor kejatuhan kabinet ini termasuk pemboikotan sidang oleh anggota-anggota DPR dalam isu pembubaran Dewan-dewan Perwakilan Daerah, serta sikap konfrontatif Soekarno akibat perselisihan pendapat tentang cara penanganan isu Irian Barat. Di satu pihak kabinet menghendaki Uni Indonesia-Belanda dibatalkan secara bilateral sedang perjuangan mengembalikan Irian Barat merupakan perjuangan tersendiri yang dilakukan terus menerus. Sementara Soekarno menghendaki status Uni Indonesia-Belanda memerlukan peninjauan kembali dan dicari dasar-dasar baru dan sekaligus dikaitkan dengan perjuangan pengembalian Irian Barat sebelum 11 Januari 1951.

Sejak saat itu Natsir keluar dari eksekutif dan semata-mata berjuang di legislatif sebagai anggota parlemen tahun 1950-1958 dan anggota Konstituante 1956-1958 di samping tetap menjadi Ketua Umum Masyumi sampai 1958. Dalam era ini Natsir memfokuskan gerakannya bersama partai Masyumi yang dipimpinnya menmperjuangakan Islam sebagai dasar negara. Di dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1957 Natsir secara gambalang memperjuangan Islam menjadi dasar negara.

Kedua, Natsir merasa berkewajiban memperjuangan Islam sebagai Dasar Negara karena hal itu merupakan keputusan Masyumi di mana ia menjadi Ketua Umumnya. Jadi hal itu merupakan amanah partai yang mesti diperjuangkan. Sebagai pemimpin yang demokratis maka Natsir merasa Konstituante adalah medan demokratis untuk memperjuangan aspirasi partainya.

Pada tahun 1958 beberapa daerah bergolak antara lain lahirnya PRRI di Sumatera. Oleh pihak lawan peristiwa itu disebut pemberontakan. Kenegarawanan Natsir dianggap beberapa pihak meredup ketika ia kemudian ikut di dalam gerakan tersebut. Kepemimpinannya di Masyumi dipegang oleh Mohammad Rum dan Prawoto Mangkusasmito yang tidak mau terlibat dengan pergolakan di daerah Keikutsertaan Natsir dalam perjuangan PRRI, bagi sebagian kalangan menjadi tanda tanya. Apa yang menjadi motivasi sebenarnya tokoh yang terkenal sangat demokratis dan berfikir integratif serta republiken tulen dan unitarian mau berpihak kepada PRRI. Meskipun pertanyaan itu belum sempurna bisa terjawab dan masih membutuhkan penelitian yang cermat, namun dari apa yang dikemukakan berapa penulis seperti Siddiq Fadhil dan George Mc Turnan Kahin serta wawancara Tempo dapat menjadi pertimbangan.

Menurut Fadhil penyertaan Natsir dalam PRRI harus dilihat sebagai suatu usaha menghalangi tindakan-tindakan tidak demokratik dan tidak konstitusional yang dilakukan Soekarno. Sementara menurut Kahin, Natsir di dalam PRRI memberikan konstribusi terbesar dengan menjaga tetapnya PRRI berjuang dalam konteks negara kesatuan RI bukan untuk keluar dari RI apalagi bersifat sparatisme.

Sementara pengakuan Natsir sendiri tentang keikutsertaannya dalam PRRI ini seperti disampaikan kepada Tempo yang dikutip kembali oleh Tempo 13 Feberuari 1993 adalah lantaran Presiden Soekarno--dengan Konsepsi Presiden--nya yang akan merombak struktur negara secara keseluruhan--telah melanggar konstitusi. Bung Karno bermaksud menguikutsertakan PKI dalam Kabinet, yang juga ditentang Bung Hatta.

Kemarahan Soekarno kepada Natsir tampaknya tidak proporsional. Hanya lantaran Natsir, Syafruddin Perwiranegara dan Burhanuddin Harahap berpihak kepada PRRI, dianggap Masyumi secara keseluruhan sudah makar dan dengan alasan itu Soekarno memberangus Masyumi dengan Kepres 200 tanggal 15 Agustus 1960 padahal Mohammmad Rum dan Kasman Singodimejo menyatakan Masyumi tidak berpihak kepada PRRI. Kepres itu merujuk kepada Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1959 dalam konsiderannya mengatakan bahwa sebagian tokoh-tokoh Masyumi terlibat dalam pemberontakan.

Tentang Masyumi dibubarkan atau membubarkan diri, menurut Yusril Ihza Mahendra adalah soal teknis semata. Karena meskipun sudah ada Kepres 200, tetapi pelaksanaan pembubaran Masyumi dilaksanakan oleh Masyumi itu sendiri. Walaupun bersifat teknis implikasinya sangat starategis. Karena di dalam Kepres 200 itu dinyatakan bahwa kalau dalam tempo tiga bulan Masyumi tidak membubarkan diri, maka Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebelum tiga bulan berakhir, Prawoto membubarkan Masyumi. Ibaratnya vonis hukuman mati dari Presiden tetapi pelaksanaan eksekusinya adalah oleh Masyumi sendiri. Jadi meskipun Masyumi bubar, tetapi bukan Partai terlarang. Ini suatu dalil yang tepat untuk menolak sikap Orba dulu yang menyamakan Masyumi dengan PKI sebagai partai terlarang.

Ketika rekonsiliasi nasional tercapai dengan selesainya PRRI dan semua yang terlibat PRRI menerima amnesti dan abolisi, maka Natsir yang seyogyanya bebas, tetap dipenjarakan oleh Soekarno dengan status karantina politik di Batu Jatim tahun 1960-1962 kemudian dipindahkan ke RTM Jakarta 1962.

Fase IV 1966-1993

M. Natsir baru bebas secara fisik dari penjara Soekarno oleh Soeharto namun kembali terkarantina dalam makna politik karena tidak boleh berpolitik praktis. Beliau aktif dalam forum petisi 50 pada tahun 1980, akibatnya lebih parah. Sebelum petisi itu ada Natsir masih bisa aktif menulis, bicara dan berpergian. Setelah ada petisi itu Natsir dicekal ke luar negeri, bicara dan menulis. Pergantian Orla ke Orba oleh Natsir tidak banyak maknanya dalam kifrah politik, karena pada hakikatnya beliau tetap "dipenjara". Meskipun begitu di awal Orba beliau p[ernah diminta bantuan oleh Soeharto untuk memulihkan hubungan Indonesia dan Malaysia, beliau memeberikan surat khusus kepada Tengku Abdul Rahman yang dibawa Ali Moertopo, sehingga konfrontasi kedua negara di masa Soekarno mencair kembali. Begitu pula ketika pemerintah Soeharto kesulitan dalam meminta bantuan modal asing, Natsir kembali berinisiatif memuluskan bantuan dari Jepang serta beberapa negara Timur Tengah untuk pembangunan Indonesia.

Di masa Orba, akibat tidak boleh berpolitik praktis, Masyumi tidak dapat direhabilitasi, Natsir memilih medan dakwah. Meskipun ada yang berpendapat Natsir sebenarnya tetap "berpolitik" dalam dakwah itu, namun secara kategorik beliau adalah mujahid dakwah. Bersama-sama tokoh ummat yang sehaluan dengannya beliau mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 1967. Pengabdian di bidang dakwah ini bukan dalam makna simbol tetapi secara
substantif dan komprehensif baik lisan, tulisan dan bil-hal atau amaliah sosial terutama pendidikan dan kesehatan. Di dunia Islam internasional, Natsir sejak 1967 menjadi Wakil Presiden Kongres
Muslim Sedunia atau Muktamar Alam Islami berkedudukan di Karachi dan anggota Majlis Ta'sisi Liga Muslim Sedunia atau Rabithah Alam Islami berkedudukan di Mekah dan juga Dewan Masjid Sedunia berkedudukan di Mekah.

DDII banyak menghidupkan dakwah islam di tengah-tengah masyarakat suku terisolir dan terasing, di pemukiman transmigrasi. Mahasiswa-mahasiswa yang potensial banyak yang memanfaatkan DDII di mana Natsir sebagai tokoh sentral memberikan rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri terutama negara-negara Islam di Timur Tengah. Beberapa lembaga pendidikan Islam di dalam negeri, pembangunan Masjid, penyantunan orang tua, anak yatim, dan rumah sakit Islam Ibnu Sina di berbagai pelosok Tanah Air mendapat asuhan dan dorongan utama dari Natsir. Di Sumatera Barat, hadirnya Rumah Sakit Islam Ibnu Sina, berdirinya Akademi Bahasa Asing (AKABA) Bukittinggi, pengiriman da'i serta santunan sosial bagi mualaf di Kepulauan Mentawai serta pemukiman transmigrasi di Sitiung, Pasaman Barat, Silunang Pesisir Selatan mendapat perhatian penuh dari Natsir dengan dukungan penuh DDII Sumbar. Dengan direncanakan berdirinya Universitas Mohammad Nastir yang baru dimulai dengan kecambahnya Sekolah Tinggi Islam di Padang, kemungkinan jiwa Natsir akan tetap tumbuh di Sumbar.
Lebih dari itu Natsir tak pernah lelah menggembeleng kader-kader Islam yang sangat ikhlas berjuang untuk kemulian dan ketinggian Islam. Terutama mantan aktivis Gerakan Pemuda Islam tahun 1950-an dan mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) yang selalu diserempet dan berjalan terseok-seok di masa penindasan politik Islam 1973-1985 era Orba. Terhadap kader-kader pemimpin Islam masa depan, Natsir bukanlah orang yang pesimis. Natsir mengganggap kader pemimpim tak bisa dicetak hanya dalam satu malam. Pemimpin tidak bisa dicetak oleh kursus kepemimpinan, tidak ada universitas pemimpin, ijazah pemimpin. Pemimpin tak bisa di-SK-kan. Pemimpin tumbuh di lapangan . Yakni setelahb erinteraksi dengan tantangan di dalam masyarakat. Pemimpin haruslahir dari kandungan ummat itu sendiri. Lahir dari lapangan. Iapercaya bahwa kader ummat dalam jumlah yang terbatas ada namun tidak suka gembar gembor. Pemimpin itu harus yang berakar ke bawah dan berpucuk ke atas. Inilah pemimpin yang diidamkan masyarakat. Proses itu lahir sendiri dalam suatu perjalanan sejarah. Hal itu disampaikannya pada acara syukuran 80 tahun Natsir yang dilaksanakan rekan dan sahabat pada 17 Juli 1988.

Dalam bagian pada wawancara dengan Panji Masyarakat Juli 1988 itu, Natsir mengibaratkan kader pempimpin itu adalah seperti harapan Nabi Zakaria yang mendambakanm keturuan yang akhairnya Allah mmemberikan keturuan Nabi Yahya. Natsir optimis lahirnya Yahya-Yahaya baru. Terutama menurutnya adalah dari Kampus dan dari LSM serta kelompok-kelompok pengajian dan pesantren. Yang penting menutut Natsir pada akhir 80-an itu, tercipta situasi yang kondusip yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan beribicara.

Calon-calon pemimpin harus diuji oleh keadaan dan tantangan dalam masyarakatnya. Ujian itu ada yang baik dan ada yang buruk.Ujian atas kebaikan misalnya mendapat kesenangan harta dan pangkat, menurut Natsir bila lulus akan memberikan kelipatan dampak poisitif yang tinggi. Sebaliknya bila gagal, maka yang menanggung deritanya adalah diri, keluarga dan masyarakat. Sebailiknya ujianterhadap keburukan misalnya penderitaan atau kekauarangan harta,bila sukses maka diri akan beruntung dan bila gagal tang menderita adalah dirinya pula dan tidak terlalu mengganggu kepada keluarga dan lingkungan.

Keterlibatan politik Ntasir pada 1980-an yang penting dicatat adalah ketika ia ikut menjadi penandatangan petisi 50 pada bulan Mei 1980. Petisi itu pada intinya mempertanyakan isi pidato Soeharto di Pekanbaru dan Bangkok yang dapat ditafsirkan bahwa Pancasila dan UUD 1945 identik dengan kekuasaan Soeharto. Artinya setiap upaya mengkritik dan mengoreksi Soeharto dapat diidentifikasi sebagai tidak setuju dengan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian menggangap ABRI sebagai kekuatan yang dapat digunakan Soeharto secara optimal untuk menindas setiap gerakan yang melawan kekuasaan yang diparalelkan dengan dirinya.

Pada dekade ini Natsir aktif melawan kehendak Orba yang ingin mengasastunggalkan Pancasila sebagai dasar semua organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan serta keagamaan. Tampaknya dengan dibolehkannya organisasi Islam mencantumkan dalam anggaran dasarnya kalimat berakidah islam, perkara asas itu diterima dan keluarlah UU No. 5 untuk Orpol dan No. 8 untuk Ormas pada tahun 1985.

Begitu pula pada saat disebarkannya buku Pendidikan Moral Pancasila yang banyak mengandung ketidak sesuaian dengan pemikiran ummat Islam Indonesia antara lain menyatakan semua agama sama, Natsir secara gamblang mendudukan persoalan itu dan menolak apa yang tercantum dalam buku PMP tersebut dan pada akhirnya buku itu direvisi pemerintah. Di dalam perjalanan hidupnya di zaman Orba beliau senantiasa dimusuhi dalam politik namun beliau tetap membantu pemabangunan Indonesia. Sampai Allah memanggilnya Ahad, 7 Februari 1993, Mohammad Natsir yang pernah diberikan Doktor Kehormatan oleh salah satu Univeristas di Malaysia tak pernah lepas dari perjuangan kepentingan bangsa Indonesia dan ummat Islam sedunia. Oleh karena itu pantaslah beliau dijuluki hati nurani dan pemandu ummat.

Sepanjang hanyatnya M. Natsir telah menghasilkan karya tulis di dalam berbagai aspek pemikiran . Karya tulisnya yang sudah diterbitkan sebanyak 61 buah, yaitu , 1. Fiqhud Dakwah, (Jakarta: DDII, t.t.) Cet. IV. 2. Surat-surat M. Natsir dari tanggal 17 Juli-15 Agustus 1958. (T.T. : T.P., t.t.) 3. Bahaya Takut, Jakarta : Media Dakwah, 1991. 4. Capita Selecta I, dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. III. 5. Capita Selecta II, dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin, (Jakarta: Pustaka Pendis, 1957). 6. Capita Selecta III, (Naskah Belum Diterbitkan).7. Fiqhud Dakwah, Djedjak Risalah dan Dasar-Dasar Dakwah, Malaysia : Polygraphic Press, 1981. 8. Selamatkan Demokrasi Berdasarkan Jiwa Proklamasi dan UUD 1945, (T.T.: Forum Silaturrahmi 45, 1984). 9. Islam dan Akal Merdeka, (Jakarta: Media Dakwah, 1988), Cet. III. 10. Azaz Keyakinan Kami. (T.T.). 11. Islam sebagai Dasar Negara, (T.T. : Pimpinan Fraksi Masyumi dalam Konstituante, 1957). 12. Revolusi Indonesia, (Bandung: Pustaka Jihad, T.T.). 13. Demokrasi di Bawah Hukum, (Jakarta: Media Dakwah, 1407/1987), Cet. I. 14.Pendidikan, Pengorbanan Kepemimpinan, Primordialisme, dan Nostalgia, (Jakarta: Media Dakwah, 1987), Cet. I.14. Normalisasi Konstitusional, (Jakarta: Yayasan Kesadaran Berkonstitusi, 1990). 15. Islam di Persimpangan Jalan, T.T. 16. Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusioanl, T.T. 17. Mempersatukan Umat, (Jakarta: CV Samudra, 1983), Cet. III . 18. Dunia Islam dari Masa ke Masa, (Jakrta: Panji Masyara¬kat, 1982). 19. Islam sebagai Ideologi, (Jakarta: Penyiaran Ilmu, T.T.). 20. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pusaka, 1988). 21. Percakapan antara Generasi, Pesanan Perjuangan Seorang Bapak, (Malaysia: Dewan Pustaka Islam, 1991). 22. Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam, (Medan:T. P, 1951). 23.Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs,( Ithaca New York: Departement of Far Eastern Studies, Cornell University, 1954), Penerbitan XVI. 24. The Role of Islam in the Promotion of National Resil¬ience, (Jakarta: T.P., 1976).25. Membangun di Antara Tumpukan Puing dan Pertumbuhan, (Djakarta : Kementerian Penerangan RI, 1951). 26. Marilah Shalat, Jakarta : Media Dakwah, 1981. 27. Mencari Modus Vivendi antara Umat Beragama di Indonesia, (Jarta: Media Dakwah, 1983). 28. Asas Keyakinan Agama Kami,(Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1984). 29. Bahaya Takut, (Jakarta: Media Dakwah, 1991).30. Kumpulan Khutbah Idul Fithri/Adhha,(Jakarta: Media Dakwah,1978). 31. Kumpulan Khutbah Hari Raya, (Jakarta : Media Dakwah, 1975). 32. The New Morality, (Surabaya: Perwakilan DDII, 1969). 33. Tinjauan Hidup, Widjaja, Djakarta, 1957. 34. Kom Tot Het Gebed (Marilah Shalat), (Jakarta: Media Dakwah, 1981). 35. Keragaman Hidup Antar Agama, Djakarta : Hudaya, 1970. 36. Hidupkan Kembali Idealisme dan Semangat Pengorbanan, Djakarta : Bulan Bintang, 1970. 37. Gubahlah Dunia dengan Amalmu, Sinarilah Zaman dengan Imanmu, Djakarta : Hudaya, 1970. 38. Kubu Pertahanan Mental dari Abad ke Abad,(Surabaya: T.P., 1969). 39. Tauhid untuk Persaudaraan Universal, (Jakarta: Suara Masjid, 1991). 40. Hendak ke mana Anak-anak Kita Dibawa oleh PMP,(Jakarta: Panji Masyarakat, 1402 H.). 41. Islam dan Akal Merdeka,(Tasikmalaja: Persatoen Islam bg. Penjiaran, 1947). 42. Islam Mempunyai Sifat-sifat yang Sempurna untuk Dasar Nega ra, (Jakarta: T.P., 1957). 43. Pandai-pandailah Bersyukur Nikmat, (Jakarta: Bulan bintang, 1980). 44. Dakwah dan Pembangunan,(Bangil: Al-Muslimun, 1974). 45. Tolong Dengarkan Pula Suara Kami,(Jakarta: Panji Ma¬syarakat, 1982). 46. Buku PMP dan Mutiara yang Hilang,(Jakrta: Panji Masyar¬akat, 1982). 47. Di Bawah Naungan Risalah, (Jakarta: Sinar Hudaya, 1971). 48.Ikhtaru Ihdas Sabilain, Addinu wa la al-Dinu, (Jeddah: Al-dar al-Saudiyah, 1392 H.). 49. Islam sebagai Ideologi, ( Jakarta : Penyiaran Ilmu, t.t.). 50. Islam dan Kristen di Indonesia, (Bandung: Pelajar Bulan Sabit, 1969).52. Pancasila akan Hidup Subur Sekali dalam Pangkuan Islam, (Bangil: T.P., 1982). 53. Cultur Islam, (Bandung: T.P., 1936). 54. Dari Masa ke Masa,(Jakarta: Yayasan Fajar Shadiq, 1975). 55. Pandai-pandailah Bersyukur Nikmat,(Jakarta: Bulan Bintang, 1980). 56. Bersama H.A.M.K. Amarullah, Islam Sumbergia Bahagia, (Bandung: Jajasan Djaja, 1953). 57. Dengan nama samaran A. Moechlis, Dengan Islam ke Indonesia Moelia, (Bandung: Persatuan Islam, Madjlis Penjiaran, 1940). 58. Agama dan Negara dalam Persfektif Islam (Kumpulan Karangan), Penyunting, H. Endang Saifuddin Anshari dan LIPPM (Jakarta: 1409-1989, belum diterbitkan/masih monograph). 59. Asas Keyakinan Agama Kami, (Jakarta: DDII, 1982). 60. Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusional, (Jakarta: TP, 1985). 61.. World of Islam Festival dalam Persepektif sejarah (Jakarta : Yayasan Idayu, 1976).



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmas Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Kon¬stituante:
Islam dan Masalah Kenegaraan,( Jakarta: LP3ES, 1985. )

Amirsyahruddin, Integrasi Imtaq dan Iptek dalam Pandangan DR. H.
Abdullah Ahmad, (Padang: Syamza, 1999. )

Anwar Harjono, Dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.)

Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati
Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999.)

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:
LP3ES, 1980.)

Endang Saifuddin Anshari, A. Hassan Wajah dan Wijhah seor¬ang Mujtahid, (Bandung: Firma Al- Muslimun, 1984. )

------------, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Rajawali, 1983.)


M. Natsir, dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin ,Capita Selec¬ta, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973.)

----------------, Capita Selecta (2), (Jakarta: Pustaka Pendis, 1957.)

----------------, Islam sebagai Dasar Negara: Pidato Moh. Natsir dalam
Sidang Pleno Konstituante pada Tang¬gal 12 Nopember 1957,
(Tanpa Tempat, Nama dan TahunTerbit).

-----------------, Demokrasi di Bawah Hukum, (Jakarta: Media Dakwah,
1987.)

Majalah Bulanan Media Dakwah, Rajab 1415/Januari 1995.

Majalah Bulanan Suara Masjid, Pebruari 1993.

Majalah Harmonis, No. 43, Maret 1993.

Mohammad Nahar Nahrawi dalam Seri Monograf Agama dan Peru¬bahan
Sosial, "Memahami Pemikiran-Pemikiran Muham¬mad Natsir
tentang Islam dan Pembaharuan Masyara¬kat", (Jakarta:
Departemen Agama, 1979.)

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara,
1979. )

Lukman Hakim. "Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir" , (Jakarta : DDII, 1993)

Panitia Buku Peringatan Mohammad Natsir/Mohammad Roem 70
Tahun, Muhammad Natsir 70 Tahun Kenang-Kenangan
Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antra, 1978.)

Siddiq Fadzil, dalam Seminar Pemikiran Muhammad Natsir , "
Muhammad Natsir Ahli Politik dan Negarawan",
(Kualalumpur: Kerjasama Angakatan Belia Islam Malaysia
(ABIM) dengan Institut Kajian asar Uni¬versiti Islam
Antarbangsa, 1993.)


Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani,
1999.)


Padang, Juni 2003
Drs. H. Shofwan Karim, M.A.
_____________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengabdian Warga Muhammadiyah: Rekonstruksi Kiprah H. Amran dalam Pendidikan

Narasi Sahabat Alumni 1972: Dr. Dra. Hj. Nurhayati Zain, B.A., M.A