Catatan dari Kamboja, 20-25 April 2009
http://www.shofwankarim.blogspot.com
Bersama Komunitas Muslim Kamboja, 20-25
April 2009 (1):
Minoritas di Tengah Mayoritas Budha
Oleh DR. H. Shofwan Karim Elha, MA
(Rektor UMSB dan Dosen FU IAIN IB Padang)
Udara panas (35 derjat cs) menyambut
kedatangan penulis di Bandar Udara Internasional Phnom Phen, ibukota Negara
Kerajaan Kamboja, Ahad dua pekan lalu. Kamboja, Kampuchea dan Cambodia, adalah
tiga kata untuk menyebut negeri yang penulis kunjungi dari 20-25 April 2009
ini.
Kamboja adalah susunan huruf dalam sebutan
kata untuk negara kerajaan ini oleh kita, orang Indonesia. Pemerintahan
sekarang (2009) dipimpin Perdana Menteri Hun Sen dan kepala Negaranya adalah
Raja Norodom Sihamoni yang bertahta sejak 2004 menggantikan ayahnya Norodom
Sihanouk.
Oleh rakyat mereka yang sekarang berjumlah
sekitar 14 juta orang itu, menyebut negeri dan dirinya sebagai Kampuchea.
Sementara dunia internasional menulis dan menyebut negeri ini sebagai Cambodia.
Negeri yang luasnya 67 ribu mil persegi ini memiliki beberapa komunitas agama.
Mata pencaharian dan sumber ekonomi
penduduk sebagian besar hidup dari pertanian dan nelayan terutama padi dan
hasil laut serta sungai untuk masyarakat pesisir sebagai nelayan dan di pedalaman
sungai Mekong.
Berada di bawah kolonial protektorat
Perancis selama 90 tahun sejak 1863-1953, pembangunan Kamboja berjalan sangat
lamban. Sehingga menurut catatan, setelah setahun lepas dari penjajahan
Perancis (1954), jumlah orang yang tamat sekolah dasar sangatlah kecil.
Kaum intelektual yang keluar dari sekolah
agama Budha banyak dan lembaganya tidak dikembangkan menjadi pendidikan modern
oleh penguasa waktu itu. Sekolah menengah baru ada pada tahun 1933 dan sampai
1954, hanya ada 144 orang Kamboja yang menyelesaikan pendidikan tingkat sajana
muda.
Baru ada perubahan setelah pemerintahan
Sihanouk 1954-1970. Sekolah menengah yang sampai 1953 hanya 8 sekolah
berkembang menjadi 200 sekolah dengan 150 ribu siswa.
Perkembangan pendidikan di Kamboja telah
mengalami beberapa kali perubahan sistem. Terakhir sejak tahun 1996 sampai
sekarang, sekolah di Kamboja secara umum menganut jenjang dasar dan menengah
sistem 12 tahun, mirip Indonesia . Terdiri atas 6 tahun pendidikan dasar, 3
tahun menengah pertama dan 3 tahun menengah atas (6+3+3).
Dari segi penduduk, kerajaan Kamboja
mayoritas suku atau bangsa Khmer. Selain Khmer warga Kamboja adalah adalah
minoritas Kaum Champa, keturunan Melayu, keturunan Vietnam, Laos dan Thailand
tetangganya.
Batas geografis dan adminsitrasi negara,
Kamboja berbatasan dengan Thailand di Barat Daya, sebelah Utara dengan Laos dan
Timur dengan Vietnam dan selatan dengan Teluk Thailand . Pembagian wilayah
pemerintahan terdiri atas 20 provinsi dan 4 munisipaliti. Tiap provinsi
memiliki distrik, komune dan kampung.
Kamboja mempunyai wilayah seluas 67 ribu
mil persegi dengan penduduk sekitar 14 juta jiwa. Dalam catatan
demografis-agama, diperkirakan 93 persen penduduk adalah memeluk agama Budha
Hinayana atau Theravada. Tradisi Budha Hinayana menyebar dan berpengaruh kuat
di berbagai provinsi. Ini dilihat dari penyebaran jumlah tempat ritual Pagoda
yang bertebaran di berbagai pelosok sebanyak 4.100 buah.
Karena kuatnya pengaruh Budha pada orang
Khmer kamboja, maka terdapat hubungan yang kuat antara etika Budha dan tradisi
budaya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ajaran Budha secara umum tertanam
secara intrinsic kepada identitas suku dan budaya mereka. Sejalan dengan itu,
cabang ajaran Budha Mahayana dianut secara minoritas dan diperkirakan dianut
oleh 150 ribu orang dengan hanya 63 buah tepat ibadahnya di seluruh negeri.
Sementara itu diperkirakan antara 500
sampai 700 ribu orang atau 4 sampai 8 persen dari rakyat Kamboja adalah pemeluk
agama Islam. Mayoritas di antara mereka adalah suku Champa yang umumnya mereka
terdapat di kota-kota dan di kampung-kampung nelayan di sepanjang pesisir
Sungai Mekong dan Sungai Tonle Sap dan di provinsi Kampot. Ada 4 kelompok
Muslim di sini. Pertama, secara umum 88 persen kaum muslimin mayoritas sunni
pengikut mazhab Syafii pengaruh Melayu. Kedua, kaum salafi sebagai pengaruh
dari Saudi dan Kuwait Timur Tengah. Mereka diikuti sekitar 6 persen dari kaum
muslimin di sini. Lalu sekitar 3 persen adalah pengikut aliran Iman-San. Aliran
ini praktis merupakan ajaran Islam yang dipengaruhi budaya local. Dan Kaum
Ahmadiyah Qadhiayani ada pula sekitar 3 persen.
Ada sekitas 300 masjid yang dimiliki
keempat kelompok komunitas muslim tadi. Sekitar 300 bangunan surau atau
mushalla untuk komunitas yang tak cukup 40 orang, sehingga belum didirikan
uapacara shalat Jum’at di daerah itu. (Bersambung).
Published by Harian Singgalang. Padang. 1
Mei 2009.
BERSAMA KOMUNITAS MUSLIM KAMBOJA, 20-25
April 2009 (2):
Luka Lama Tak Hendak Diingat
Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA
Rektor UMSB dan Dosen IAIN IB Padang
Selain Budha dan Islam tadi, agama kelompok
kecil yang juga berkembang dengan lambat yaitu Kristen yang hanya memiliki
lebih kurang 2 persen penganutnya. Tersebut belakangan ini sangat aktif mengembangkan
misi dan memiliki sekitar 100 organisasi misi dan zending. Mereka mempunyai
2400 gereja, meskipun yang resmi terdaftar hanya 900 bangunan. Ada lagi
kelompok kecil pemeluk agama Cao Dai yang datang dari Vietnam serta ajaran
Baha’i yang diikuti sekitar 2 ribu oang pemeluk saja. Di samping kelompok kecil
yang terkahir ini ada lagi Misi Asing yang sangat aktif Gereja Mormons dan
Saksi Jehovah yang dengan bebas menyebarkan misinya dari pintu ke pintu selama
waktu jedah tengah hari waktu makan siang sampai pk 2 .
Di tengah aneka warna mayoritas Budha dan
minoritas berbagai agama dan aliran, umat Islam yang komposisi nominal lebih
besar dari kalangan minoritas lainnya tadi, sekarang sedang mencoba
meningkatkan harkat dan martabatnya. Zaman lalu yang kelabu di masa Khmer Merah
(Khmer Rouge) Rezim Komunis Pol Pot (1975-1979) tak hendak mereka ingat lagi
dan mereka biarkan tinggal dalam kenangan. Ratusan Masjid dan banyak madrasah
telah diruntuhkan, diluluh-lantakkan dan dihancurkan Pot Pot pada lebih kurang
30-34 tahun lalu. Kini sebagian di antaranya telah mereka ganti dengan Masjid
baru dan Madrasah baru.
Puluhan ribu kaum muslimin, ribuan tokoh
dan ratusan ulama telah dibunuh rezim Pol Pot bersama masyarakat dan rakyat
Kamboja lain lawan politiknya waktu itu. Total genosida menurut catatan di
musium Kiling Field, Phnom Pehn ada sekitar 1,7 juta jiwa. Padahal penduduk
Kamboja diujung dekade 70-an itu baru 8 juta orang. Artinya hampir 25 % telah
menemui ajalnya karena siksaan dan pembunuhan langsung maupun tidak langsung.
Di antaranya anak-anak yang tidak mau mengkuti perintah penguasa waktu itu
untuk membunuh orang tuanya, lalu mereka sendiri yang dibunuh. Cerita tentang
umat Islam dan ulama serta para hakim dan imam tak kurang mengerikan. Pada waktu
itu, mereka yang tidak mau makan babi, di samping dibunuh juga ada yang tak
tahan disiksa lalu bunuh diri, karena mempertahankan prinsip akidah dan syariat
yang mereka anut.
Sejak beberapa waktu belakangan keadaan
mulai berubah. Kebijakan pemerintah sekarang memberikan pelayanan yang sama
terhadap umat beragama di negeri ini. Keadaan ini telah melegakan nafas. Karena
itu telah berdiri sejak beberapa waktu lalu sampai belakangan ini masjid-masjid
baru dan madrasah baru. Kaum muslimin telah ada yang bekerja dan duduk di
kantor pemerintahan, baik di pusat dan daerah. Ada pula yang menjadi anggota
parlemen dan juga anggota polisi. Di kalangan militer juga demikian. Bahkan
salah seorang jendral yang menjadi salah salah satu kepala pengamanan PM Hunsen
adalah seorang Muslim. Begitu pula di beberapa kementerian, ada pegawai muslim.
Kaum wanita juga mulai mendapat tempat. Satu atau beberapa orang duduk di
kementerian perempuan, social dan lingkungan.
Suasana yang berubah ini telah memudahkan
bagi pendatang muslim ke Kamboja. Maka pantaslah ketika mencecahkan kaki di
Bandara Intrenasional Phnom Pehn, kita akan dengan mudah menemukan mushalla
untuk ibadah shalat. Pada lantai kedatangan dan keberangkatan Bandara Phnom
Phen ada tempat kaum mulimin melaksanakan ibadah wajib harian ini. Di dalam
kota Phnom Pehn sendiri ada sekitar 6 sampai 7 buah Masjid. Salah satu di
antaranya merupakan masjid internasional. Masjid ini didirikan dengan swadaya
kaum muslimin setempat, juga dibantu oleh pemerintah serta beberapa perorangan
muslim dari beberapa negara. Ada tanda mereka telah melewati masa suram ke
dinamika perjuangan kini dan ke depan, meski minoritas di tengah mayoritas
Budha. (Bersambung). SHOFWAN KARIM ELHA. Published by Harian Singgalang.
Padang. 2 Mei 2009
Bersama Komunitas Muslim Kamboja, 20-25
April 2009 (3):
Para Pemimpin yang Menentukan
Oleh DR. H. Shofwan Karim Elha, MA
(Rektor UMSB dan Dosen FU IAIN IB Padang)
Seminar “Understanding Islam in Combodia”,
berlangsung empat kali. Senin, 20 April di Hotel Sun Way, Phnom Phen, Selasa 21
April dan Kamis 23 April di Balai Pertemuan Provinsi ibukota provinsi Kompong
Cham, kota Kompong Cham dan di sebuah hotel kecil Kompot, ibukota provinsi
Kompot dan Jum’at 24 April, kembali di kota Phnom Pehn. Seminar ini atas
sponsor dan kerja sama Kedutaan Besar Amerika Serikat, Kementerian Dalam Negeri
Kamboja dan Komite Hak Asasi Manusia untuk Kamboja.
Dari Kamboja pembicaranya adalah HE
Zakariyya Adam, seorang anggota parlemen dari Provinsi Kandal. Dia juga , tokoh
muslim terkemuka dan pendidik serta aktivis umat. Di Parlemen tadi dia adalah
anggota Komisi pendidikan, Pemuda, Olahraga, Urusan Agama, Kebudayaan dan
Pariwisata. Kira-kira seperti Komisi IV di DPRD Provinsi kita Sumbar.
Dari Amerika adalah Dr. Sherifa Zuhur,
Profesor riset Studi Islam dan Regional dari Strategic Studies Institute, PA.
Dari Indonesia dua orang, satu Kolonel Polisi Drs. Muhammad Tito Karnavian, MA
yang sedang mengambil Ph. D di Nan Yang University Singapura atas nama Polri.
Kedua, penulis sendiri yang diundang sebagai Rektor Universitas Muhammdiyah.
Keempat kami mempresentasikan secara
berurutan “Sejarah, Pengalaman, Pengamalan dan Dinamika Islam di Kamboja”;
“Kesatuan dan Keberagaman dalam Modern Islam”; Kebijakan Polisi di Komunitas
Plural: Studi Kasus Indonesia ; dan Regional Islam: Gerakan, Hukum, dan
Pendidikan Islam di Indonesia.
Pesertanya terdiri atas pemimpin, Majlis
Tertinggi Pimpinan Umat Islam Kamboja, ulama, hakim dan imam kaum muslim
Kamboja, Kementerian dalam Negeri, Kementerian Wanita, Sosial dan Lingkungan
serta para opsir polisi nasional dan local serta beberapa angkatan muda lintas
ethnis dan agama. Masing-masing tempat di setiap sesi diikuti 50 sampai 70
0rang peserta.
Tak beda dengan tradisi di negeri kita,
maka pembukaan seminar yang berlangsung marathon di beberapa tempat dan kota
ini didahului dengan pidato sambutan serta pembukaan secara resmi oleh Deputi
Perdana Menteri Kamboja yang juga Menteri Dalam Negeri HE Sar Kheng. Lalu
sambutan Dubes Amerika Carol A. Rodley. Sebelumnya didahului dengan lagu
kebangsaan Kamboja. Tidak ada pembacaan al-Qur’an di permulaan acara atau pun
do’a di akhir acara. Pada tiap sesi di ibukota provinsi para pembesar
bergantian memberikan sambutan, di antaranya seorang Deputi Gubernur yang
muslim di Kompot yang katanya berasal dari Jawa dalam silsilah keturunan
beberapa tingkat generasi di atasnya.
Sejak pembukaan sampai acara sesi seminar,
hingga seminar akhir sebagai kesimpulan, bahasa pengantar adalah Bahasa Inggris
dan Bahasa Khmer. Ada penerjemah untuk kedua bahasa ini. Ada satu, dua orang
yang pandai berbahasa Melayu, tetapi tidak memadai untuk dijadikan bahasa
presentasi dan diskusi dalam seminar. Padahal dalam sejarah Kamboja, etnis
Champa di abad ke-16 ada yang berasal dari puak Melayu dan sebagian lagi dari
beberapa daerah Vietnam.
Itulah sebabnya, kata beberapa sumber,
ketika Rezim Khmer Merah Pot Pol membantai kaum muslim Champa pada 1975-1979,
sebagian mereka yang tersisa banyak yang melarikan diri ke Malaysia dan konon
sekarang di wilayah Melaka ada kampung Cham itu. Mereka yang bolak-balik antara
Kamboja dan Malaysia inilah yang dapat mempertahankan bahasa Melayu. Di Kamboja
sendiri, suku Cham mayoritas menjadi penduduk Provinsi Kompong Cham, berjarak
sekitar 200 km arah ke utara dari Phnom Pehn. Kaum muslimin juga banyak di
Provinsi Kompot, 170 km arah ke Selatan dari Phenom Pehn.
Di luar seminar di antara yang suka
berbahasa Melayu dengan penulis adalah HE Zakariyya Adam. Begitu pula Oknh Sos
Kamry (nama Khmer) dan nama Melayunya Haji Kamaruddin Yusof. Tokoh ini sekarang
menjabat Presiden sekaligus Mufti dan Direktur Jendral Pusat Islam Kamboja.
Yang lain adalah HE Man Sokry yang bekerja
di Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Kelautan yang alumni Institut Pertanian
Bogor. Ketiga mereka bersama beberapa gelintir elit pemimpin lainnya bagaikan
orang yang cukup menentukan dalm sejarah, pengalaman, pengamalan dan dinamika
ummat Islam di Kamboja.
Kembali ke HE Zakaryya Adam, adalah seorang
tokoh sipil, aktivis, politisi dan sekaligus ulama dihormati di Kamboja. Bukan
hanya disegani internal kaum muslimin yang minoritas, tetapi juga secara
eksternal oleh pemimpin lainnya dari kalangan Budha dan agama serta kelompok
lainnya di negeri ini.
Zakaryya Adam merasakan pahit getirnya
menghadapi Rezim Pol Pot dalam perjuangan dari hutan ke hutan, lebih dari 30
tahun lalu. Sekarang tokoh ini sangat giat mengembangkan dakwah Islam dan membina
kaum muslimin.
Putranya yang ketiga sekarang menuntut ilmu
keislaman di Pesantren Minhajur Rasyidin, Jakarta. Bersama pemimpin lainnya,
Zakaryya Adam dan dua nama yang disinggung tadi adalah deretan pemimpin
kharismatis dan diikuti oleh kaum muslimin di sini. Sepertinya, merekalah yang
menentukan gerak dinamika hari ini dan masa depan Islam di Kamboja.
(Bersambung).
Bersama Komunitas Muslim Kamboja, 20-25
April 2009 (4/habis):
Menjadi Minoritas Inklusif
Oleh DR. H. Shofwan Karim Elha, MA
(Rektor UMSB dan Dosen FU IAIN IB Padang)
Di tengah mayoritas penganut agama Budha
Theravada maka kaum muslimin Kamboja menjadi minoritas bebas tetapi toleran
dalam kehidupan social dan rukun dengan kaum mayoritas tadi dan kelompok
lainnya. Tidak pernah ada pertikaian, konflik apa lagi pergesekan fisik dengan
pemeluk agama lain. Kecuali dengan kaum komunis, lebih-lebih rezim Pol Pot
seperti yang telah disinggung terdahulu maka kaum muslimin Kamboja merasa
negeri ini sepenuhnya milik mereka. Mereka merasa bahagia dan tenteram sekarang
ini.
Lebih dari itu, seperti disinggung beberapa
sumber termasuk Zakaryya Adam, bila kaum muslimin merasa tidak nyaman dengan
pihak lain maka mereka tidak mengganggu dan mereka lebih suka sibuk dengan
program dan tradisi meraka sendiri. Begitu pula internal ummat Islam. Seperti
apa yang ditulis beberapa sumber, umat Islam di Kamboja secara total adalah
kaum sunni atau ahlus sunnah wal jamah.
Di dalam kemurnian akidah, ketaatan
beribadah, pelaksanaan syariat dan pengamalan Islam, kaum muslimin di sini
berada pada dua kategori. Pertama, mereka yang ber-Islam dengan langsung
mempraktikan akidah murni ibadah, syariat yang sesuai amalan Nabi Muhammad
Rasulullawh saw seperti amalan salafus shalih yang merujuk langsung kepada al-Quran
serta sunnah dan autentik dari Nabi . Merekalah yang secara relatif berkomitmen
dengan rukun Iman dan mempraktikan rukun Islam secara konkret .
Kedua, mereka yang di Indonesia disebut
“abangan” merujuk teori Clifford Geertz yang sudah dibantah Harsya W Bachtiar
dan lainnya. Kaum yang jenis kedua ini sebenarnya muslim dalam artian label,
tetapi masih penuh dengan singkretisme dan kepercayaan leluhur, tadisi local
dan kepercayaan nenek moyang yang secara baku banyak yang tidak sesuai dengan
ajaran “salafus shalih”. Mereka tetap shalat tetapi tidak teratur dan umumnya
sekali seminggu saja, ketika shalat Jum’at.
Antara kelompok kategori pertama dan kedua
tadi, meskipun dari luar kelihatannya tidak cocok, dan pada beberapa hal amat
bertentangan, namun di dalam internal umat Islam ini mereka tidak pernah
melahirkan aksi yang bermuara kepada ketegangan. Paling-paling menurut
Zakariyya Adam, mereka membangun masjid dan mushalla sendiri-sendiri sesuai
dengan paham keagamaan yang mereka anut.
Sebagaimana kebanyakan mereka mengikuti
mazhab Syafii, maka setiap kampung memiliki mushalla. Dan bila lebih dari 40
orang penduduk, mereka dapat mendirikan upacara shalat Jum’at. Dengan begitu
pada suatu waktu mushalla tadi promosi menjadi masjid.
Kerajaan atau negara dan pemerintahan tidak
secara ekslusif membantu secara formal, kecuali untuk hal-hal tertentu.
Walaupun demikian, Pemerintahan PM Hun Sen, secara berangsur membuka keran
bantuan seperti pembangunan masjid dan seterusnya.
Di balik itu pemerintahan sekarang tidak
pernah melarang setiap aktifitas dan konsepsi social, perkawinan, pendidikan,
hukum, politik, ekonomi dan budaya kaum muslimin di sini. Ambil contoh soal
undang-undang dan peraturan tentang perkawinan. Mereka mengatur sendiri secara
otonom untuk urusan lembaga sacral yang disebut pernikahan atau perkawinan
sekalian derivasinya seperti waris mewarisi, harta dan kekayaan bagi yang
pasangan cerai hidup atau mati.
Bagi mereka yang suka dengan hukum syarak,
maka itulah yang mereka lakukan. Fatwa dan bimbingan dari hakim dan imam sudah
cukup bagi kaum muslimin di sini untuk setiap pemahaman, amal, praktik dan
dinamika umat islam di negeri ini. Negara dan pemerintah tidak ikut campur.
Yang penting bagi sebuah pernikahan dan
perkawinan misalnya, sudah syah secara syarak menurut legitimasi para hakim dan
imam atau ulama. Bila sudah syah secara syarak tadi, maka hal itu tidak perlu
dibawa ke administrasi sipil dan pemerintahan. Dengan begitu, maka secara
teoretis, mereka otonom dan mengurus diri sendiri.
Dan secara komunal dalam status atau
kedudukan mereka sebagai warga negara kerajaan, mereka mematuhi semua aturan
yang ada di luar hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban keagamaan
tadi. Artinya inklusifitas itu bermakna bahwa tidak ada segregasi dan
diskriminasi dalam tatanan kehidupan sehari-hari mereka dalam konteks social
kemasyarakatan.
Sama seperti beberapa komunitas multi agama
di beberapa negara di Asia Tenggara seperti juga di Maluku dan Poso sebelum
peristiwa huru hara lalu, muslim dan non-muslim di Kamboja saling mengunjungi
dan saling membantu dalam setiap kegiatan.
Bila ada yang melaksanakan kenduri
perkawinan, non-muslim datang berbagi rasa bahagia atau sebaliknya kalau ada
kemalangan mereka saling mengunjungi sebagai pengejawantahan kedukaan. Dalam
makna yang bersifat social ini, mereka dapat disebut menganut prinsip
inklusifitas aktif.
Sebaliknya dalam hal praktik keagamaan,
baik yang mengandung nuansa teologis maupun ritualistic dan pelaksanaan hukum
syarak, mereka teguh menerapkan prinsip ekslusifitas-pasif. Dalam kata lain,
dalam hal duniawi, social, politik, ekonomi dan budaya, mereka toleran terhadap
kaum yang lain. Sebaliknya dalam hal akidah dan agama, mereka teguh dengan
pendirian dan pengamalan tanpa memaksakan ke golongan lain dan mereka juga
tidak mau dipaksa golongan lain itu. (Habis)
Komentar